Prinsip Rumah Tangga Kristen
Perkawinan dan rumah tangga adalah salah
satu topik yang sangat menarik dan penting untuk dipelajari oleh orang Kristen,
baik mereka yang sedang berencana untuk berumah tangga maupun mereka yang telah
berumah tangga. Salah satu tujuan penting mempelajari topik ini agar “...kamu semua penuh hormat terhadap
perkawinan...” (Ibrani 13:4a). Mengapa perlu menghormati perkawinan?
Karena perkawinan dan rumah tangga adalah sebuah lembaga yang didirikan oleh
Allah sendiri.
Penjelasan
Ayat 2-6: Kembali pada hakekat perkawinan
Perikop ini sebenarnya menggambarkan
bagaimana para orang Farisi ingin menjebak Yesus dengan pertanyaan- pertanyaan
supaya Yesus kedapatan oleh mereka menentang hukum Taurat Musa. Namun Yesus
yang adalah Anak Allah, mempunyai pengertian yang sempurna tentang hukum Taurat
Musa, dan bagaimana sampai Musa mengeluarkan ketentuan yang memperbolehkan
perceraian. Musa memperbolehkan perceraian, karena kekerasan hati bangsa Israel
yang pada masa dahulu memang menganggap wanita sebagai warga kelas rendah,
bahkan seperti budak, hampir seperti binatang. Maka Musa melindungi hak
martabat wanita dari perlakuan semacam ini, sebab seandainya wanita tersebut
dimadu, tentu kondisinya lebih buruk lagi. Maka ketika Musa
memperbolehkan membuat surat cerai, ini sudah merupakan ‘kemajuan’ kondisi
sosial yang memperhatikan martabat pihak wanita. Sebab pada saat suaminya
‘mengusir’nya, ia dapat memperoleh kebebasan.
Yesus mengetahui maksud jahat orang-orang
Farisi ini. Ia juga mengetahui bahwa Musa memperbolehkan perceraian justru
untuk melindungi hak dan martabat kaum wanita. Peraturan Musa ini bukan untuk
mendorong/memberi hak istimewa kepada orang Yahudi untuk menceraikan istrinya.
Perceraian pada jaman nabi Musa diizinkan demi mentolerir suatu kesalahan
karena kekerasan hati mereka. Maka perceraian tidak pernah sesuai dengan
rencana awal Allah Bapa saat menciptakan laki-laki dan perempuan.
Namun Yesus mengembalikan ajaran ini kepada
hakekat perkawinan seperti yang ditentukan Allah dari semula, pada awal
penciptaan dunia. “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan
ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”
(Kej. 2:24). Allah telah menentukan sejak semula, bahwa kesatuan perkawinan
tidak terceraikan.
Prinsip teologis yang mendasari pendapat
Yesus ialah maksud Pencipta dalam menjadikan lelaki dan perempuan, yakni agar
mereka bersatu dan janganlah hubungan yang dikehendaki Pencipta diabaikan. Pengajaran
Yesus ini mengingatkan agar kita tidak terpancang pada huruf, melainkan lebih
berpegang pada prinsip-prinsip hidup di hadapan Allah.
Ayat 7-9: Perkawinan adalah ikatan seumur hidup
Allah adalah Arsitek Agung perkawinan. Sejak semula Allah sudah membuat
ketetapan atau ketentuan bagi umatNya untuk memulai atau membentuk rumah tangga.
Ketentuan atas perkawinanan tersebut adalah:
1. Meninggalkan (segi resmi).
Sebelum menikah kedua mempelai terikat dan
merupakan bagian dari orangtua masing-masing. Untuk memasuki jenjang pernikahan
mereka masing-masing harus bersedia “meninggalkan” orangtuanya. Barangsiapa
yang belum “siap” meninggalkan orangtuanya, pada dasarnya belum siap untuk
memasuki perkawinan.
Setelah berumah tangga, yang paling “dekat”
dengan suami atau isteri bukan lagi orangtuanya, bukan pula teman-temannya,
tetapi pasangan hidupnya. Jadi, orangtua kedua belah pihak pun harus merelakan
anak-anaknya memasuki suatu kehidupan yang baru. Tidak lagi terlalu jauh
mencampuri urusan rumah tangga anak-anaknya.
2. Bersatu (segi cinta) & Menjadi Satu Daging
(segi seks)
Hubungan suami-isteri dalam pernikahan
adalah hubungan yang bersifat :
Permanen (seumur hidup, tidak
terceraikan, sampai maut memisahkan).
Jadi pernikahan bukan sesuatu yang bisa
dianggap main-main. Jika ada perbedaan, itu hal wajar. Perbedaan itu mungkin
sulit untuk disatukan tetapi akan dapat diatasi karena bersatunya cinta dari
dua orang yang berbeda, cinta-lah yang dapt mengalahkan perbedaan-perbedaan
itu.
Eksklusif (khusus untuk
mereka berdua, tidak ada tempat untuk pria idaman lain, wanita idaman lain atau
orang ketiga). Nas diatas mengatakan, “…bersatu
dengan isterinya…”; bukan bersatu
dengan tetangga atau dengan wanita atau pria lainnya. Dalam pernikahan Kristen
tidak boleh ada perselingkuhan. Ingatlah bahwa Allahlah yang merencanakan dan
menetapkan pernikahan dari orang-orang percaya!
Total
dan Intim
(menyangkut tubuh, jiwa dan roh)
Karena itu masing-masing pasangan harus
menyerahkan tubuhnya, hatinya bahkan jiwanya secara total hanya untuk
pasangannya, yaitu pasangan yang telah ditetapkan Allah kepadanya. Seperti dua
lembar lembar kertas yang dilem lalu disatukan, melekat tak terlepas, bersatu
secara total.
Dalam jawabanNya atas pertanyaan orang-orang
Farisi apakah boleh seseorang menceraikan isterinya karena alasan apa saja,
Yesus berkata: “Karena itu, apa yang
telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius
19:6; Markus 10:9). Yesus disini memberi kesimpulan hukum pernikahan yang telah
ditetapkan Allah sejak semula, yang tetap berlaku hingga sekarang ini dan juga
sebagai hukum Kristus.
Jim E.
Waldron
mengomentari pernyataan Yesus ini demikian:
Hukum Kristus ini memberikan dua fakta
jelas: (1) Allah yang menyatukan atau mengikat dalam pernikahan; dan (2) apa
yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia. Dari kedua hal di
atas, pertama kita tahu bahwa pernikahan bukan semata-mata suatu bentuk
kesatuan yang Anda lakukan sendiri. Ketika dua orang menikah, mereka tidak
hanya masuk ke dalam sebuah perjanjian antara keduanya, tetapi juga dengan
Allah. Dengan kata lain, janji (sumpah) mereka tidak hanya kepada satu sama
lain tetapi di hadapan Allah dengan penuh tanggung-jawab kepada Allah... Dalam
pernikahan, dua orang tidak hanya menyatukan diri bersama, mereka juga diikat
oleh Allah... Fakta kedua yang dinyatakan di atas adalah...tidak ada
seorangpun, tidak ada hukum, tidak ada hakim, tidak ada juri, dan tidak ada
orang yang terikat hukum atau di luar dari hukum yang mempunyai hak untuk masuk
di antara seorang laki-laki dan isterinya yang dinikahi secara hukum” (Waldron,
1998:38).
Perlu diingat juga bahwa pernikahan sebagai
ikatan seumur hidup bukan berarti mengesampingkan pelanggaran yang terjadi
dalam pernikahan, yaitu perzinahan (Matius 19:9; 5:32; Markus 10:1,12) ataupun
peristiwa alamiah yang menimpa pernikahan, yaitu matinya salah seorang pasangan
suami atau isteri ketika masih dalam ikatan hukum pernikahan (Roma 7:2,3).
Ayat 10-12: Perceraian yang diikuti perkawinan adalah dosa
Penegasan Yesus, seorang suami berzinah
terhadap perempuan yang diceraikannya, amat mengagetkan. Yesus memandang
perempuan dan lelaki setara dalam hak dan kewajiban. Ditegaskan, bila seorang
perempuan menceraikan suaminya lalu menikah lagi, maka perempuan itu bertindak
zinah terhadap suaminya. Pernyataan Yesus bahwa istri dapat menceraikan suami,
sangat kontroversial! Hukum agama Yahudi tidak mengenal hal ini.
Ayat 13-15: Menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil
Tuhan Yesus adalah satu-satunya sumber
berkat, karena itu orangtua bertanggung jawab membawa anak-anaknya kepada Tuhan
untuk diberkati. Tanggung jawab gereja adalah menyingkirkan setiap penghalang
berkat bagi anak-anak dan hamba-hamba Tuhan mengikuti teladan Yesus yang
menumpangkan tangan atas anak-anak untuk memberkati.
Dalam hal ini, Tuhan Yesus menjelaskan
pentingnya memiliki iman seperti anak kecil. Pada umumnya, seorang anak
mempercayai orang tuanya tanpa menunggu persetujuan akal budi. Anak kecil
menikmati ketergantungan kepada orang tua tanpa merasa direndahkan. Beriman
berarti percaya penuh dan bergantung penuh kepada yang dipercayai tanpa
menunggu persetujuan akal. Iman yang tulus tanpa keraguan itulah yang menjadi
persyaratan bagi kita untuk bisa menjadi warga Kerajaan Surga.
Refleksi
Jangan mencobai Tuhan dengan mengambil
Firman Tuhan dan memakaikannya sesuai dengan kehendak kita, atau sebagai
penguat atas keinginan pribadi kita. Pelajaran dari orang Farisi harus kita
petik; mereka begitu menguasai Taurat sampai akhirnya berkutat dengan teori
tetapi tidak melakukannya, lebih jauh lagi; mereka memakai pengetahuan itu
untuk pembenaran terhadap kesalahan atau dosa yang mereka perbuat – bahkan
menguji untuk menjatuhkan orang.
Perkawinan menjadikan sepasang laki-laki dan perempuan satu dalam suatu hubungan perjanjian. Hal ini lebih kuat dari suatu kontrak, karena perjanjian yang dibuat oleh Allah. Ingatlah tulisan yang terdapat di toko-toko, “Barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan!” kalau barang yang dibeli saja tidak dapat dikembalikan, koq malah manusia gampang diceraikan?!
Orang Kristen pada masa kini perlu kembali kepada
iman yang sederhana, yaitu iman sepeti yang dimiliki oleh anak-anak. Iman orang
Kristen pada masa kini menghadapi berbagai ancaman. Pertama, ancaman pendewaan
akal budi. Akal budi menjadi penentu utama benar salah (etika) dan keyakinan
(doktrin). Kepercayaan yang dianggap tidak masuk akal ditinggalkan. Kedua,
ancaman pendewaan kebebasan. Pendewaan kebebasan membuat manusia tidak mau
dikenai batas-batas moralitas dengan dalih bahwa kebebasan merupakan bagian
dari hak asasi manusia. Pendewaan kebebasan membuat manusia tidak mau
menundukkan diri di bawah otoritas (wewenang) Allah dan Firman-Nya. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar