“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu" Yohanes 15:16

Rabu, 11 Maret 2015

Ibrani 12:18-19 (Khotbah Minggu, 15 Maret 2015)

Beribadah Dengan Hormat Dan Takut

Pendahuluan
Ketika bangsa Israel berkumpul di gunung Sinai untuk menerima 10 Hukum Allah, kilat dan petir menyambar-nyambar dan bunyi guntur berguruh secara mengerikan. Bangsa Israel segera mundur dan tidak mampu menghampiri hadirat-Nya karena ketakutan yang luar biasa.

Betapa berbedanya keadaan di Bukit Sion, gunung anugerah Allah dimana umat manusia dipanggil untuk datang ke hadirat Allah dengan penuh keberanian. Namun penerima surat Ibrani sedang dalam bahaya karena mereka berkeinginan untuk kembali ke Sinai. Mereka memilih sistem pengorbanan yang tidak sempurna daripada pengorbanan Kristus yang sekali dan untuk selamanya, memilih legalisme yang sia-sia daripada Injil kasih karunia.  Di Bukit Sion, orang kristen bertemu dengan Yesus, Sang Pengantara. Melalui-Nya orang kristen dimampukan untuk mendatangi hadirat Allah dan mengalami hubungan yang akrab dan intim.

Penjelasan
Penulis Surat Ibrani (diyakini sebagai Paulus) banyak mengenal tradisi ibadah umat Israel dan memiliki pengetahuan yang banyak mengenai praktik model ibadah tersebut. Ibadah umat Israel sebagaimana yang diuraikan dalam Kitab Taurat memang diatur begitu rupa dengan peranan Imam yang akan menjembatani antara manusia dengan Allah yang ingin ditemuinya. Hubungan antara manusia dengan Allah merupakan hubungan yang "jauh" karena manusia di bumi dan Allah di sorga. Bumi dan sorga bukan hanya melambangkan jarak yang jauh, namun juga sekaligus melambangkan tempat yang rendah dan tempat yang tinggi mulia.

Pandangan tentang Allah yang transenden, yang Maha Kudus, yang jauh, menakutkan bagi manusia untuk mendekatinya, begitulah yang ditemukan dalam budaya Perjanjian Lama. Manusia perlu melakukan ritual suci untuk menghampiri Allah di tempat kudusNya. Bandingkan penggambarannya dalam ayat 18-21, dimana Allah digambarkan seperti gunung yang tidak dapat disentuh, api yang menyala-nyala, kekelaman, kegelapan, angin badai, bunyi sangkakala, suara yang menggentarkan dan menakutkan. Penulis menggambarkan keadaan bagaimana nabi Musa dan bangsa Israel dulu mengalami suara Tuhan, langsung, ketika mereka ada di gunung Sinai (band. Ulangan 9).

Pandangan penulis Kitab Ibrani, tentang Allah yang dikenal dalam Kristus Yesus, adalah Allah yang imanen, akrab, dekat. Bandingkan penggambarannya dalam ayat 22-25, dimana Allah digambarkan sebagai Bukit Sion, Kota Allah yang hidup, Yerusalem sorgawi, kumpulan yang meriah bersama beribu-ribu malaikat, jemaat-jemaat anak-anak sulung, Allah yang menghakimi semua orang, yang hidup bersama roh-roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna, Yesus Pengantara perjanjian baru.

Penulis Surat Ibrani memiliki upaya untuk membarui model ibadah ritual dari tradisi Perjanjian Lama dengan ibadah kristen. Mempertemukan antara Allah yang jauh dengan Allah yang dekat dalam Kristus Yesus. Memberi makna yang baik akan praktik ibadah kristen. Sikap yang tepat untuk pengembangan ibadah yang seimbang adalah dengan tidak mengutamakan sisi yang satu dan mengabaikan sisi yang lainnya. Bila hanya menonjolkan aspek imanen belaka, bukannya tidak mungkin manusia menjadi meremehkan Allah, bahkan berani menolak Dia yang menyampaikan firman Allah di bumi maupun di sorga (ayat 25).


Soal menggoncangkan pada ayat 26 dan 27 lebih berbicara kepada upaya untuk melakukan perubahan demi memperoleh sikap yang kuat dan teguh yang tidak tergoncangkan lagi, yaitu Kerajaan-Nya. Ibadah adalah soal merayakan kerajaan yang tak tergoncangkan. Ada aspek perayaan yang gembira, tanpa melupakan upaya menghadap Allah Sang Raja. Gabungan antara akrab dan hormat, sukacita dan ketertiban. Ke-Raja-an Yesus dalam ibadah patut terus kita perjuangkan dalam setiap sikap ibadah yang kita bangun. Itu sebabnya pada ayat 28 dijelaskan sikap yang berkenan dalam ibadah kepada Allah adalah dengan cara yang hormat dan takut. Jangan meremehkan dan rnenyepelekan kehadiran Allah, sebab bagaimanapun la adalah api yang menghanguskan (ayat 29).

Refleksi
Ada 2 sikap ekstrim dalam model sikap beribadah, yaitu terlalu kaku, kering, formal, menegangkan di pihak yang satu, dan di pihak yang lain sikap yang terlalu gembira, santai, longgar, bebas dan cenderung tanpa hormat. Sikap tersebut tentu didukung oleh warna teologi ibadah apa yang dibangun untuk melaksanakannya.

Namun perlu diingat, hormat dan takut orang Kristen kepada Allah berbeda dari rasa takut orang-orang berdosa, sebab orang Kristen telah diampuni dosa-dosanya oleh Kristus. Takut bagi orang Kristen bermakna tidak ingin menyakiti  ataupun mengecewakan Tuhan karena Dia sudah menebus umat-Nya. Oleh karena itu, hormat dan takut umat Tuhan harus kita wujudkan dalam ibadah dan ucapan syukur serta kehidupan sehari-hari yang berorientasi memuliakan Dia.

“Geladi Bersih” adalah latihan umum yang terakhir menjelang pelaksanaan atau pementasan acara sesungguhnya. Diharapkan, mereka yang terlibat memiliki gambaran tentang apa yang bakal dilakukan nanti. Geladi bersih merupakan persiapan dan bayangan bagi realitas yang sesungguhnya. Mana yang lebih utama dan lebih akbar? Jelas bukan bayangannya, tetapi realitasnya.

Penulis surat Ibrani memandang segala praktik ibadah pada masa sebelum Kristus sebagai “geladi bersih” bagi ibadah yang sejati sesudah kedatangan-Nya. Perjanjian yang lama menjadi bayangan bagi yang baru. Peran imam sebagai perantara dalam hubungan umat dengan Allah adalah persiapan untuk tugas Perantara yang diemban oleh Yesus Kristus. Darah hewan kurban menjadi simbol bagi darah suci yang mengalir di Golgota. Israel yang menghadap Allah di Gunung Sinai adalah gambaran kita yang - melalui perantaraan Yesus - menyembah Dia dalam kekudusan-Nya. Dan apabila “geladi bersih”-nya sedemikian mulia dan membangkitkan kegentaran, apalagi ibadah yang sebenarnya.

Namun, benarkah demikian? Benarkah umat Kristen sekarang beribadah dengan antusiasme yang tinggi sekaligus sikap penuh hormat akan hadirat Allah? Seberapa siap kita memasuki sebuah ibadah? Seberapa dalam rasa syukur yang mendorong kita pergi ke gereja? Seberapa rindu kita menantikan datangnya hari Minggu? Semoga kita tidak dibuat malu ketika menengok betapa seriusnya umat Perjanjian Lama melakukannya, padahal itu baru sebuah “geladi bersih” belaka.


Pdt. Anthony L Tobing
dari berbagai sumber


Postingan Terkait



0 komentar: