“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu" Yohanes 15:16

Senin, 05 Mei 2014

Kisah Para Rasul 7:54-60 (Khotbah Minggu, 18 Mei 2014)

Menyerahkan Segenap Hidup Kepada Tuhan

Pendahuluan
Stefanus (Yunani; Stephanos, 'mahkota') ialah satu dari 7 orang diaken yang dipilih oleh para rasul sesudah kebangkitan Yesus, untuk mengawasi pendistribusian bantuan kepada para janda di dalam gereja, agar para rasul bisa memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman (6:1-6). Dikatakan bahwa Stefanus lebih menonjol dari yang lainnya dalam hal iman, kasih, kuasa rohani dan hikmat (6:5, 8, 10).

Stefanus bukan hanya setia terhadap ‘pelayanan meja’ saja, ia menggunakan waktu pelayanannya melebihi yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan khusus yang ditugaskan kepadanya. Tuhan menyertai pelayanan Stefanus dengan memberinya karunia dan kuasa untuk mengadakan tanda-tanda dan mujizat-mujizat di antara orang banyak.

Kemudian ia berselisih dengan jemaat sinagoge Yahudi, yang menyeretnya ke hadapan para Sanhedrin (anggota Mahkamah Agama yang terdiri dai 70 orang) dengan dakwaan menghujat Nabi Musa dan Allah (6:11) serta menghina Bait Allah dan Hukum Taurat (6:13-14). Stefanus, dengan penuh hikmat, menjawab tuduhan-tuduhan itu dengan uraian ringkas tentang ‘sejarah kelam’ Israel di masa lalu dan ia balik mendakwa orang Yahudi yang masih meneruskan tradisi nenek moyang mereka yang sesat, bahkan sampai membunuh Mesias (6:15-7:53). Hal ini membakar amarah para Sanhedrin terhadapnya. Ia ditangkap dan dirajam sampai mati (7:54-60) oleh sekelompok massa yang marah.

Penjelasan
Ayat 54
“Ketika anggota-anggota Mahkamah Agama itu mendengar semuanya itu, sangat tertusuk hati mereka. Maka mereka menyambutnya dengan gertakan gigi.”

Pemberitaan para rasul tentang Yesus sebagai penggenapan dari Perjanjian Allah dengan Umat-Nya dalam Perjanjian Lama diteruskan oleh Stefanus. Ia dengan gamblang menelanjangi serta menusuk hati orang-orang Yahudi yang tidak percaya dengan Firman kebenaran.

Dalam kesaksiannya, ia meninggikan Yesus sebagai Tuhan yang telah dibunuh oleh jemaat Yahudi (ay. 52). Apa yang dikatakan oleh Stefanus ini dianggap menghujat Allah, karena bagi penganut agama Yahudi, menyamakan seseorang dengan Allah merupakan penghinaan terhadap Allah. Akibatnya, para penganut agama Yahudi sangat membenci Stefanus.

Hal ini menunjukkan adanya usaha untuk menolak kesaksian yang benar. Lebih tragis lagi, bahwa usaha penolakan ini justru terjadi kepada orang-orang yang beribadah dan mengerti Kitab Suci dengan benar. Para ahli Taurat dan imam-imam kepala serta orang farisi, - yang merupakan anggota Mahkamah Agama - adalah orang-orang yang melaksanakan ibadah di dalam bait suci; dan lebih dari itu, mereka adalah orang-orang yang telah belajar kitab suci dengan baik. Namun, hal yang paling fatal adalah mereka menolak kesaksian yang benar tentang Yesus Kristus.

Ada banyak usaha dari para hamba Tuhan untuk mengajarkan Alkitab secara benar diterangi dengan kesaksian Roh Kudus berkaitan dengan Yesus Kristus. Namun, tidak sedikit pula usaha yang dilakukan orang yang justru mengaburkan kesaksian-kesaksian yang benar tentang Yesus Kristus dengan memakai Alkitab. Salah satunya adalah kelompok Liberalisme. Kelompok Liberal merupakan bagian dari orang Kristen yang berusaha membantah Yesus Kristus yang diberitakan dalam Alkitab. Kelompok ini menolak Yesus Kristus adalah Tuhan.

Sebagai anak Tuhan, kita perlu hati-hati! Jangan sampai kita terjebak dengan tipu muslihat mereka yang menyebut diri Kristen, namun menolak Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat satu-satunya.

Ayat 55-56
“Tetapi Stefanus, yang penuh dengan Roh Kudus, menatap ke langit, lalu melihat kemuliaan Allah dan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah. Lalu katanya: "Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah."

Mungkin ada banyak orang di dalam gereja modern saat ini menilai cara Stefanus kurang bijak, apalagi mengingat penganiayaan yang menyusul. Tetapi menurut Lukas (penulis Kisah Para Rasul), Stefanus berbicara menurut Roh Allah sendiri (ay. 55), bukan menurut hatinya sendiri.

“Taat kepada Allah, bukan kepada manusia” (5:29) yang menjiwai khotbah Stefanus membawanya pada penglihatan kemuliaan Allah dan Yesus yang berdiri di sebelah kanan Allah. Setelah melihat hal itu, dia bukannya diam tertegun melihat kemuliaan Allah yang menakjubkan itu, Stefanus justru bersaksi atas apa yang dilihatnya.

Biasanya Alkitab menyebutkan Tuhan “duduk disebelah kanan Allah”, juga pengakuan iman rasuli berkata demikian. Namun kali  ini dikatakan bahwa Tuhan “berdiri di sebelah kanan Allah”.  “Di sebelah kanan Allah”, merupakan sebuah penyataan akan kekuasaan Tuhan Yesus yang tidak ada bandingnya. Penglihatan itu juga seakan hendak mengatakan bahwa Tuhan Yesus tidak jauh dari Stefanus, Ia hadir di sana, di saat Stefanus menderita.  Tuhan berdiri untuk “menyambut” Stefanus masuk dalam kerajaanNya. Lebih dari itu, Tuhan berdiri karena Ia “menghormati” Stefanus sebab Ia sendiri berkata, “Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku dan di mana Aku berada, di situ pun pelayan-Ku akan berada. Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa.” (Yoh. 12:26).

Ketika dunia ini menolak, Allah yang menciptakan langit dan bumi serta alam raya justru menyambut dan memberi hormat kepada para hamba-hamba-Nya yang tetap setia kepada panggilan mereka sampai mati. Sungguh indah bukan? Tuhan senantiasa berpihak pada orang-orang benar. Ia membela setiap anakNya yang berpegang pada imannya. 

Ayat 57-58
“Maka berteriak-teriaklah mereka dan sambil menutup telinga serentak menyerbu dia. Mereka menyeret dia ke luar kota, lalu melemparinya. Dan saksi-saksi meletakkan jubah mereka di depan kaki seorang muda yang bernama Saulus.”

Kesaksian Stefanus atas penglihatan itu, semakin memancing amarah para Sanhedrin dan jemaat Yahudi. Mereka langsung menyeret Stefanus ke luar kota. Dan sebagaimana para penghujat Allah harus di lempari batu di pintu gerbang, demikianlah Stefanus yang dianggap sebagai penghujat Allah dilempari batu sampai mati.  Tindakan ini sebetulnya adalah pembunuhan dengan pengeroyokan, tanpa pengadilan, sebab memang ketika itu Mahkamah Agama tidak behak untuk menjatuhkan hukuman mati. Hukuman mati harus disahkan oleh pemerintah pendudukan Romawi.

Para pemimpin Yahudi itu, yang dianggap bijaksana dan mengutamakan kebenaran di atas kedamaian, telah dikuasai amarah, sehingga tidak lagi dapat mengontrol diri dan mudah diserang histeria. Mereka mensahkan penganiayaan dan pembunuhan terhadap Stefanus atas dasar aturan Taurat mengenai ‘penghujat’ (Im. 24:16; Ul. 13:6-11). Dalam amarah mereka itu, hikmat Gamaliel (Kis. 5:34-40) telah mereka abaikan. Dalam kapasitas mereka sebagai pemimpin, hal seperti itu harusnya tidak terjadi, apalagi mereka memimpin sebuah lembaga keagamaan yang kebijakannya sangat menentukan arah kehidupan religius para pengikutnya.

“menutup telinga”, merupakan ciri-ciri orang yang suka berbicara tanpa mau mendengarkan orang lain. Mereka terbiasa berbicara (khotbah) kepada orang lain. Pada masa itu ketika seseorang ahli agama sedang berbicara di rumah ibadat, tidak ada seorangpun yang berani untuk memotong pembicaraannya (hampir mirip dengan khotbah dalam ibadah masa kini). Mungkin kebiasaan ini membuat para imam dan ahli agama itu tidak mau mendengar jawaban yang tidak sesuai dengan pemikirannya. Bahkan mereka sampai menutup telinga mereka agar mereka tidak mendengar “kebenaran” yang dikatakan oleh Stefanus.

Semoga, saat ini tidak ada hamba Tuhan yang seperti para Sanhedrin tersebut. Kalau ada, hamba Tuhan itu harus lebih banyak belajar dari Tuhan Yesus sebagai Kepala Gereja. Bahkan tidak hanya hamba Tuhan, jemaat biasa pun harus mulai membentuk diri, sehingga kita “cepat mendengar tetapi lambat untuk berkata-kata” (Yak. 1:19). Kita harus meneladani Tuhan kita, Yesus Kristus, yang selalu memiliki waktu untuk mendengar orang lain, walaupun Ia juga banyak berkhotbah dan mengajar.

Dalam peristiwa pembunuhan terhadap Stefanus itu disebutkan bahwa Saulus hadir di sana dan memberi restu terhadap pembunuhan itu. Tentu saja ini bukanlah suatu kebetulan. Lukas sengaja menyebut nama Saulus untuk pertama kalinya dalam perikop ini, karena kematian Stefanus inilah yang nantinya menjadi titik balik perubahan hidup Saulus.  Saulus yang adalah musuh utama orang Kristen serta penghambat ulung pertumbuhan Gereja, di kemudian hari bertobat dan menjadi rasul terbesar bagi kaum kafir, yang diubah namanya menjadi Paulus.

Ayat 59-60
Sedang mereka melemparinya Stefanus berdoa, katanya: "Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku." Sambil berlutut ia berseru dengan suara nyaring: "Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!" Dan dengan perkataan itu meninggallah ia.

Bagaimana Stefanus menghadapi kematiannya? Alkitab memberikan gambaran ini: ketika menghadapi penganiayaan, Stefanus melakukan 2 hal penting. Pertama, ia berdoa kepada Yesus Kristus, “Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku” (ay. 59); kedua, ia memberikan kata-kata pengampunan, “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!” (ay. 60). Dari ayat ini, kita melihat bahwa Stefanus melakukan suatu hal yang luar biasa! Ia telah memperlihatkan kesabaran dan ketekunannya dalam menghadapi penganiayaan dari para musuhnya. Disaat orang-orang berteriak marah sambil melempar puluhan (bahkan mungin ratusan) batu kepadanya, Ia tidak marah atau melawan, sebaliknya Stefanus berdoa dan meminta pengampunan kepada Tuhan bagi orang-orang yang sedang menganiayanya.

Khotbah Stefanus yang gamblang dan menusuk itu dinyatakan sebagai sebuah “pelampiasan kasih”, bukan “pelampiasan amarah”. Kasih kepada sesama (supaya mereka bertobat dan hidup) bermuara pada doa permohonan agar mereka diampuni, hal ini sesuai teladan Yesus sendiri.

Terlihat begitu kontras, di saat orang-orang yang membencinya “berteriak dengan suara nyaring” untuk membunuhnya (ay. 57), Stefanus justu “berseru” untuk pengampunan mereka (ay. 60). Dan salah satu jawaban doa Stefanus saat itu adalah Tuhan mengampuni Saulus (Paulus), dan mau memakainya untuk memberitakan injil lebih luas lagi. Intinya, kematian Stefanus tidak pernah sia-sia. Seperti ada pepatah bahwa “darah kaum martir merupakan benih gereja”, demikian juga kematian Stefanus malah mengharumkan kekristenan. Iman yang berkemenangan tidak akan pernah sia-sia.

Sebuah pelajaran berharga; apabila kesaksian kita ditolak, kita tidak perlu marah, membenci apalagi mendendam. Sebaliknya, kita harus mendoakan orang-orang tersebut. Jika karena kesaksian kita, kita mendapat perbuatan yang tidak menyenangkan dan bahkan penganiayaan, belajarlah seperti Stefanus; belajarlah untuk mengampuni orang-orang tersebut.

Stefanus mau dan mampu mengampuni orang-orang yang menganiaya dirinya, ia berdoa untuk memohonkan pengampunan bagi mereka. Hal ini dikarenakan pandangannya tidak hanya ditujukan kepada kesalahan orang-orang lain terhadapnya, melainkan kepada Allah Bapa dan Tuhan Yesus yang mengasihinya. Saat itu kasih Kristus memenuhi hatinya, ajaranNya menguasai pikirannya dan teladan pengampunanNya mengarahkan tindakannya. Itu sebabnya stefanus bisa mengampuni.

Mengampuni seseorang itu memang tidak gampang, apalagi bila perbuatan orang tersebut tidak hanya menyakiti hati, tapi bahkan menginjak harga diri. Belajarlah dari Stefanus, jangan mengarahkan pandangan kepada orang-orang yang bersalah serta kesalahan mereka melainkan kepada Kristus yang mengasihi dan mengampuni. Niscaya kita semua dimampukan untuk mau mengampuni.

Spurgeon, seorang pendeta gereja Baptis, berkata dalam salah satu khotbahnya, “Kami tidak lagi mengingat hal-hal yang menyakitkan hati kami, tetapi kami hidup dengan pengampunan, sebagaimana kami telah diampuni setiap hari.” Kiranya hal ini dapat meneguhkan iman, menguatkan hati kita untuk terus bersaksi, sekalipun kita mengalami penolakan karena kesaksian kita.

Refleksi
Taat sampai akhir adalah kerinduan Allah kepada setiap orang yang percaya padaNya. Namun adakalanya manusia mengabaikan ketaatan kepada Allah saat mereka diperhadapkan pada tantangan atau konsekuensi yang berat. Ketaatan memang harus diperjuangkan setiap hari dalam kehidupan setiap anak Tuhan, sebab keinginan untuk menjadi taat selalu diperhadapakan dengan godaan untuk tidak taat. Tantangan atau konsekuensi yang berat yang dihadapi setiap orang percaya, sudah ada sejak jaman gereja mula-mula. Hal itu dapat dilihat dalam pengalaman hidup Stefanus.

Stefanus satu dari antara 7 orang yang dipilih dari antara anggota jemaat, tampil sebagai seorang yang tidak hanya melayani meja (diakonia) tetapi juga sebagai seorang pemberita Injil dan “apologet” yang tangguh. Stefanus sangat menguasai sejarah keselamatan Allah dan kitab suci dengan baik, sehingga ketika ia berkhotbah dan menjawab tuduhan dari orang Yahudi dan para Sanhedrin, ia mendasarkannya fakta-fakta dalam kitab suci. Akibatnya tidak ada yang dapat melawan hikmatnya. Stefanus, warga jemaat ‘biasa’ telah bersaksi secara ‘luar biasa’ karena ia "penuh dengan kasih karunia dan kuasa" Allah. Stefanus bersaksi sampai ia mati, seperti yang dialami oleh Yesus Kristus sendiri.

Sampai hari ini, Allah tetap membutuhkan orang-orang biasa yang bersedia dipakai secara luar biasa bagi misiNya di dunia ini. Sebagai anggota jemaat yang telah diselamatkan dan dipenuhi dengan kasih karunia serta Roh Allah, hendaknya kita berani bersaksi bagi Kristus. Jangan pernah mundur meskipun ada harga yang harus dibayar. Lihatlah teladan Yesus Kristus, Kepala Gereja, yang taat sampai mati demi misi BapaNya (Fil. 2:8-11).

Ketaatan dan kesetiaan sampai akhir yang diwujudnyatakan dalam kehidupan Stefanus semakin dipertegas dan dikuatkan oleh Allah sendiri ketika Allah menampakkan diri dalam kemuliaanNya kepada Stefanus. Dan ketika seseorang memiliki ketaatan yang utuh, maka sekalipun harus menghadapi kematian, ia pasti mendapat kekuatan menjalaninya, malahan ia bisa mengampuni orang yang menganiayanya.

Tantangan iman apakah yang sedang kita hadapi saat ini? Adakah kita tetap setia dan taat kepada Allah atau sudah mulai mundur karena melihat terlalu besar tantangan dan konsekuensi yang harus dihadapi? Apakah kita merasa tidak sanggup dan ingin menyerah dari jalan pemuridan ini? Ingatlah bahwa Allah senantiasa menyatakan kehadiranNya kepada kita dalam segala tantangan iman yang kita hadapi. Tetaplah taat dan setia, sekalipun teramat banyak dan teramat berat tantangan yang harus dihadapi. Jangan pernah lupa untuk selalu bergantung dan bersandar kepada kekuatan Tuhan. Karena itu, serahkanlah segenap hidup kita kepada Tuhan agar kita dimampukan untuk melewati tantangan iman ini dengan kemenangan.    Amin.

Pdt. Anthony L Tobing
(dari berbagai sumber)


Postingan Terkait



2 komentar:

Unknown mengatakan... Balas

Renungannya bagus, penalaranya mudah dimengerti,sgt gamblang bisa buat bahan kotbah aq untuk melayani d kebaktian Rukun Warga d tempatku, Amin.sgt membantu aku utk lbh mengerti mengabarkn kebenaran firman Allah.

Unknown mengatakan... Balas

Ap makna dari kis 7:50 61