PENDAHULUAN
Istilah Lectio Divina berasal dari Origenes. Menurut asal usulnya
Lectio Divina adalah pembacaan Alkitab oleh orang-orang Kristen untuk memupuk
iman, harapan dan kasih. Lectio Divina sudah setua Gereja yang hidup dari Firman
Allah dan tergantung dari padanya seperti air yang tergantung dari sumbernya. Pada
awalnya tidak ada pembacaan yang diorganisir dan metodik, melainkan tradisi sendiri
yang diteruskan dari generasi ke generasi, lewat praktek umat Kristen.
Sistematisasi Lectio Divina dalam empat jenjang, baru terjadi pada abad XII. Pada sekitar tahun 1150,
Guigo, seorang rahib, mengajukan teori empat jenjang dalam pembacaan Alkitab.
Hal ini didapatkannya ketika suatu kali tiba-tiba nampak dalam budinya (penglihatan)
empat tangga jenjang rohani yaitu: pembacaan, meditasi, doa dan kontemplasi.
Ini adalah tangga yang dinaiki para rahib dari bumi ke surga. Jenjangnya hanya
sedikit tetapi luar biasa tingginya dengan ujung bawah tegak di atas bumi dan
ujung atas menerobos awan-awan mencari rahasia surga. Setiap jenjang ini
menghasilkan efek yang khas dalam diri orang yang membaca Alkitab.
TUJUAN LECTIO DIVINA.
Kita mencoba untuk mencapai apa
yang dikatakan Alkitab: “Tetapi firman ini sangat dekat
kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan.” (Ul. 30:14). Dalam mulut lewat
pembacaan, dalam hati lewat meditasi dan doa, dan pelaksanaannya dalam
hidup lewat iman yang dikuatkan oleh kontemplasi.
Tujuan Lecito Divina adalah
tujuan Alkitab sendiri yaitu:
1.
Memperoleh hikmat yang dapat membawa kepada keselamatan karena
iman akan Yesus Kristus (bdk. 2 Tim 3:15).
2.
Mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan untuk
mendidik orang dalam kebenaran dan dengan demikian membimbing umat Allah untuk
segala pekerjaan baik (bdk. 2 Tim 3:16-17).
3.
Membantu kita belajar dari kesalahan pendahulu-pendahulu kita agar
tidak jatuh dalam kesalahan/dosa yang serupa (bdk. 1 Kor 10:6-10).
EMPAT LANGKAH LECTIO
DIVINA.
Empat jenjang Lectio Divina
adalah: pembacaan, meditasi, doa, kontemplasi. Tidak selalu mudah membedakan
yang satu dari yang lain. Apa yang dikatakan beberapa orang tentang pembacaan,
oleh yang lain dapat dikenakan pada meditasi, dsb. Sikap membaca misalnya dapat
berlangsung juga selama meditasi. Keempat sikap itu ada dan berlangsung bersama
sepanjang seluruh proses Lectio Divina, meskipun intensitasnya berbeda sesuai
dengan jenjang yang dicapai seseorang.
1. Pembacaan
(Lectio).
Pembacaan berarti mempelajari Alkitab dengan kerajinan dan
perhatian besar. Dengan membaca dengan jelas, perlahan-lahan dan lantang kita
menempatkan Firman Allah di mulut kita, seperti menempatkan makanan pada mulut
kita. Membaca merupakan titik awal. Langkah ini membuat pembaca berpijak di bumi. Hal ini
perlu sebagai persiapan untuk meditasi dan dialog dengan Tuhan, agar meditasi bukanlah hanya
buah khayalan belaka namun berdasarkan teks Alkitab dan realitas. Membaca
dengan penuh perhatian membantu agar teks Alkitab tidak dimanipulasi dan
disempitkan menurut pendapat dan keinginan kita sendiri. Karena teks mempunyai
arti dalam dirinya sendiri tak tergantung pada orang yang membacanya. Dalam hal
inilah sumbangan studi Alkitab diperlukan untuk membantu Lectio Divina yang
baik. Kita perlu mengenal teks dalam rangka konteksnya.
Catatan: Bagi yang mampu, baiklah mengikuti studi Alkitab yang
membahas aspek literer, historis dan teologis, tetapi dalam hal ini harus
waspada terhadap tafsiran yang rasionalistik tanpa iman, yang sering masih
dijumpai dalam studi-studi Alkitab. Di samping itu perlu disadari, bahwa untuk
dapat melakukan Lectio Divina tidak mutlak harus melakukan studi ilmiah dan
kecuali itu hendaknya disadari pula, bahwa semua itu bukan tujuan Lectio Divina,
melainkan hanya sarana dan bantuan untuk mencapai tujuan.
Langkah pertama ini mau menjawab pertanyaan: apa yang dikatakan
teks? Membaca teks bagi kita haruslah dengan penuh perhatian dan hormat karena
setiap kata berasal dari Allah. Tuhanlah yang memberikan Firman itu kepada kita
dengan cara yang sangat pribadi. Mengingat-ingat Firman adalah juga berarti
mengingat Allah dan Tuhan kita Yesus Kristus. Membaca teks berulang kali bagi
diri sendiri sehingga hati kita terpusat pada Firman sudah mengarah pada doa batin.
Bila ada gagasan atau kalimat atau kata yang menarik perhatian kita, hendaklah
berhenti di situ.
Pembacaan harus membuat kita menjadi akrab dengan teks sampai pada
titik dimana teks menjadi kata-kata kita sendiri. Kasianus berkata: “Diresapi dengan perasaan
yang sama dengan yang meresapi penulisan teks, sehingga seakan-akan kita
menjadi penulis-penulisnya”. Saat itulah kita dapat mengetahui bahwa Allah mencoba mengatakan
sesuatu kepada kita. Pada saat itu kita menundukkan kepala, menjadi hening dan
membuka pendengaran kita: “Aku mau mendengarkan apa yang
dikatakan Allah, TUHAN” (Mzm 85:9). Pada saat itulah pembacaan berubah menjadi
meditasi dan bergerak menuju langkah kedua yaitu meditasi.
2. Meditasi
(Meditatio).
Jika langkah pertama mau menjawab pertanyaan: “Apa yang dikatakan
teks?”, maka meditasi mau menjawab pertanyaan: “Apa yang dikatakan teks kepada
kita saat ini, di sini, di tempat ini?”. Begitu kita sudah menempatkan Firman
Allah ini dalam mulut kita dan mulai mengunyahnya, maka kita sudah mulai
bermeditasi berdasarkan teks tersebut. Meditasi berarti memamah, mengunyah Firman
dan berdiam dengan tenang menikmati setiap potong Firman untuk menyarikan
maknanya.
Berdialoglah dengan teks melalui pertanyaan reflektif, misalnya:
apakah persamaan dan perbedaan situasi yang ada pada teks dengan zaman
sekarang? Konflik yang ada dalam teks apakah juga menjadi konflik pada situasi
sekarang ini? Apakah pesan teks untuk situasi sekarang? Perubahan sikap apa
yang disarankan teks bagiku? Hal apa yang menurut teks harus tumbuh dalam
diriku? Setiap kata dari teks hendaklah ditujukan pada diri sendiri. Penting
kita perhatikan bahwa langkah ini adalah proses intuitif, sehingga kita dapat
melakukannya seperti sedang membaca surat cinta berulang-ulang. Setiap kata begitu dinikmati
dan menjadi bagian dirinya. Seorang yang membaca surat dari kekasihnya bahkan dapat
hafal kalimat-kalimat yang tertulis itu.
Orang yang bermeditasi merenungkan dan merasakan kebenaran yang
tersembunyi dalam Firman Allah dan menjadikannya sebagai kebijaksanaan dalam
hidupnya. Merenungkan tidak berarti terus-menerus berpikir-pikir tentang teks
itu, melainkan lebih meresap-resapkannya dengan mengulang-ulang teks tersebut,
sampai artinya meresap ke dalam hati kita. Bermeditasi ini pada hakikatnya
mendengarkan kata-kata yang dibaca secara berulang-ulang untuk menemukan makna
yang terkandung dalam Firman tersebut.
Sulit menentukan dengan tegas pada saat kapan orang beralih dari
meditasi ke doa sebagaimana kita sulit mengatakan dengan tepat kapan orang
beralih dari masa remaja ke masa dewasa. Namun ada patokan yang dapat
digunakan. Meditasi membuat makna teks itu terbuka bagi kita dan relevan dengan
situasi sekarang dan memberi gambaran akan apa yang diminta Allah dari kita.
Bila kita mempunyai gambaran yang jelas mengenai apa yang diminta Allah,
tibalah saatnya kita bertanya: Sekarang apa yang hendak kukatakan kepada Allah?
Apakah aku menerima FirmanNya atau tidak? Bila yang diminta Allah pada kita
menjadi jelas, maka menjadi jelas juga segala keterbatasan, hambatan dan
ketidakmampuan kita. Pada saat itu dapatlah kita memohon kepada-Nya: “Tuhan, tolonglah
kami” (band. Mzm. 44:27). Dengan kata lain, meditasi ini adalah
benih doa. Unsur penting untuk membantu bermeditasi yaitu: menempatkan diri
kita di dalam hadirat Tuhan dan menyadari kehadiran Tuhan yang amat dekat pada
kita.
3. Berdoa (Oratio).
Dalam membaca kita bertanya: “Apa yang dikatakan teks?”. Dalam meditasi
kita bertanya: “Apa yang dikatakan teks kepadaku?”. Sedangkan dalam berdoa kita
bertanya: “Aku diajak teks mengatakan apa kepada Allah?” Dalam langkah ketiga
ini kita memberi tanggapan dan mengungkapkan perasaan di hadirat Allah, apa
yang dibangkitkan dalam diri kita oleh Firman yang telah kita renungkan. Berdoa
adalah tanggapan yang muncul dari hati kita atas Firman Tuhan. Doa ini dapat
berupa permohonan, pujian, syukur atau penyesalan. Kita dapat mengungkapkan doa
kita dalam suatu percakapan dengan Yesus atau Allah Bapa, boleh juga dengan Roh
Kudus, secara spontan, seperti seorang sahabat yang berbicara dengan sahabatnya
yang mengasihi dia. Percakapan ini hendaknya spontan, sederhana, wajar, tanpa
dibuat-buat. Supaya tidak menjadi monolog, doa ini harus bermuara dalam
kontemplasi.
4. Kontemplasi
(Contemplatio).
Bila pembacaan Firman berulang-ulang meletakkan Firman pada bibir
kita, meditasi menempatkan Firman dalam pikiran kita, berdoa menempatkan Firman
pada hati kita, maka dengan bantuan rahmat Tuhan, kontemplasi mengukirkan Firman
pada roh kita.
Kontemplasi berasal dari kata latin “contemplari”, yang berarti
memandang. Doa kita berubah dari suatu percakapan menjadi suatu pandangan kasih
dalam iman, dalam keheningan, tanpa kata-kata, tanpa gagasan. Bila pada awalnya
saat-saat kontemplasi ini hanya singkat saja, lama kelamaan, bila kita setia,
saat-saat itu dapat menjadi lebih panjang dan bila Tuhan berkenan, orang bahkan
ditarik ke dalam keheningan yang besar dan keterserapan dalam Allah. Dalam
keheningan dan kedamaian inilah Allah mencurahkan kasih dan kebijaksanaanNya.
Walaupun demikian janganlah memaksa tinggal dalam keheningan itu bila tidak
ditarik dari dalam, sebab kalau demikian keheningan itu menjadi kekosongan yang
steril. Sebaliknya bila orang ditarik ke dalam keheningan dari dalam, janganlah
takut, sebab itu sungguh suatu rahmat yang besar.
Kita bisa tetap diam tenang pada inti terdalam jiwa, menunggu,
memandang dan merasakan kehadiranNya yang melampaui kata-kata. Kita berjumpa
dengan Sang Firman itu sendiri. Kita diangkat untuk mengenal Dia yang sudah
lebih dulu mengenal kita sedalam-dalamnya. Kita diangkat untuk mencintai dan
dicintai dalam kekuatan Roh yang berdoa di dalam diri kita. Dengan memasuki
suatu cahaya yang baru kita mengalami transformasi. Kita telah sampai pada
sumber ‘air hidup’ dan diberi minum secara cuma-cuma dari Sang Penyelamat kita.
Bila kita mulai keluar lagi dari keheningan, artinya tidak terpusat lagi, kita
dapat mulai lagi proses dari awal, dari langkah I dan seterusnya, atau dapat
juga sekedar mengulang-ulangi nama Yesus.
PENUTUP
Dalam melakukan Lectio Divina kita perlu kedisiplinan, ketenangan
hati dan tentunya rahmat Tuhan sendiri. Hal terpenting bukanlah banyak berpikir
tentang Firman melainkan banyak mencintai Firman. Semoga melalui Lectio Divina
kita semakin mengalami persatuan dengan Tuhan.
(Diambil dari Buku Panduan Pelayanan P.Karm, CSE dan KTM).
0 komentar:
Posting Komentar