“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu" Yohanes 15:16

Jumat, 12 September 2014

Lectio Divina (Devine Reading)

PENDAHULUAN 
Istilah Lectio Divina berasal dari Origenes. Menurut asal usulnya Lectio Divina adalah pembacaan Alkitab oleh orang-orang Kristen untuk memupuk iman, harapan dan kasih. Lectio Divina sudah setua Gereja yang hidup dari Firman Allah dan tergantung dari padanya seperti air yang tergantung dari sumbernya. Pada awalnya tidak ada pembacaan yang diorganisir dan metodik, melainkan tradisi sendiri yang diteruskan dari generasi ke generasi, lewat praktek umat Kristen. Sistematisasi Lectio Divina dalam empat jenjang, baru terjadi pada abad XII. Pada sekitar tahun 1150, Guigo, seorang rahib, mengajukan teori empat jenjang dalam pembacaan Alkitab. Hal ini didapatkannya ketika suatu kali tiba-tiba nampak dalam budinya (penglihatan) empat tangga jenjang rohani yaitu: pembacaan, meditasi, doa dan kontemplasi. Ini adalah tangga yang dinaiki para rahib dari bumi ke surga. Jenjangnya hanya sedikit tetapi luar biasa tingginya dengan ujung bawah tegak di atas bumi dan ujung atas menerobos awan-awan mencari rahasia surga. Setiap jenjang ini menghasilkan efek yang khas dalam diri orang yang membaca Alkitab.
 
TUJUAN LECTIO DIVINA.
Kita mencoba untuk mencapai apa yang dikatakan Alkitab: Tetapi firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan. (Ul. 30:14). Dalam mulut lewat pembacaan, dalam hati lewat meditasi dan doa, dan pelaksanaannya dalam hidup lewat iman yang dikuatkan oleh kontemplasi.
Tujuan Lecito Divina adalah tujuan Alkitab sendiri yaitu:
1.  Memperoleh hikmat yang dapat membawa kepada keselamatan karena iman akan Yesus Kristus (bdk. 2 Tim 3:15).
2.  Mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran dan dengan demikian membimbing umat Allah untuk segala pekerjaan baik (bdk. 2 Tim 3:16-17).
3.  Membantu kita belajar dari kesalahan pendahulu-pendahulu kita agar tidak jatuh dalam kesalahan/dosa yang serupa (bdk. 1 Kor 10:6-10).

EMPAT LANGKAH LECTIO DIVINA.
Empat jenjang Lectio Divina adalah: pembacaan, meditasi, doa, kontemplasi. Tidak selalu mudah membedakan yang satu dari yang lain. Apa yang dikatakan beberapa orang tentang pembacaan, oleh yang lain dapat dikenakan pada meditasi, dsb. Sikap membaca misalnya dapat berlangsung juga selama meditasi. Keempat sikap itu ada dan berlangsung bersama sepanjang seluruh proses Lectio Divina, meskipun intensitasnya berbeda sesuai dengan jenjang yang dicapai seseorang.

1. Pembacaan (Lectio).
Pembacaan berarti mempelajari Alkitab dengan kerajinan dan perhatian besar. Dengan membaca dengan jelas, perlahan-lahan dan lantang kita menempatkan Firman Allah di mulut kita, seperti menempatkan makanan pada mulut kita. Membaca merupakan titik awal. Langkah ini membuat pembaca berpijak di bumi. Hal ini perlu sebagai persiapan untuk meditasi dan dialog dengan Tuhan, agar meditasi bukanlah hanya buah khayalan belaka namun berdasarkan teks Alkitab dan realitas. Membaca dengan penuh perhatian membantu agar teks Alkitab tidak dimanipulasi dan disempitkan menurut pendapat dan keinginan kita sendiri. Karena teks mempunyai arti dalam dirinya sendiri tak tergantung pada orang yang membacanya. Dalam hal inilah sumbangan studi Alkitab diperlukan untuk membantu Lectio Divina yang baik. Kita perlu mengenal teks dalam rangka konteksnya.
Catatan: Bagi yang mampu, baiklah mengikuti studi Alkitab yang membahas aspek literer, historis dan teologis, tetapi dalam hal ini harus waspada terhadap tafsiran yang rasionalistik tanpa iman, yang sering masih dijumpai dalam studi-studi Alkitab. Di samping itu perlu disadari, bahwa untuk dapat melakukan Lectio Divina tidak mutlak harus melakukan studi ilmiah dan kecuali itu hendaknya disadari pula, bahwa semua itu bukan tujuan Lectio Divina, melainkan hanya sarana dan bantuan untuk mencapai tujuan.
Langkah pertama ini mau menjawab pertanyaan: apa yang dikatakan teks? Membaca teks bagi kita haruslah dengan penuh perhatian dan hormat karena setiap kata berasal dari Allah. Tuhanlah yang memberikan Firman itu kepada kita dengan cara yang sangat pribadi. Mengingat-ingat Firman adalah juga berarti mengingat Allah dan Tuhan kita Yesus Kristus. Membaca teks berulang kali bagi diri sendiri sehingga hati kita terpusat pada Firman sudah mengarah pada doa batin. Bila ada gagasan atau kalimat atau kata yang menarik perhatian kita, hendaklah berhenti di situ.
Pembacaan harus membuat kita menjadi akrab dengan teks sampai pada titik dimana teks menjadi kata-kata kita sendiri. Kasianus berkata: “Diresapi dengan perasaan yang sama dengan yang meresapi penulisan teks, sehingga seakan-akan kita menjadi penulis-penulisnya”. Saat itulah kita dapat mengetahui bahwa Allah mencoba mengatakan sesuatu kepada kita. Pada saat itu kita menundukkan kepala, menjadi hening dan membuka pendengaran kita: “Aku mau mendengarkan apa yang dikatakan Allah, TUHAN” (Mzm 85:9). Pada saat itulah pembacaan berubah menjadi meditasi dan bergerak menuju langkah kedua yaitu meditasi.

2. Meditasi (Meditatio).
Jika langkah pertama mau menjawab pertanyaan: “Apa yang dikatakan teks?”, maka meditasi mau menjawab pertanyaan: “Apa yang dikatakan teks kepada kita saat ini, di sini, di tempat ini?”. Begitu kita sudah menempatkan Firman Allah ini dalam mulut kita dan mulai mengunyahnya, maka kita sudah mulai bermeditasi berdasarkan teks tersebut. Meditasi berarti memamah, mengunyah Firman dan berdiam dengan tenang menikmati setiap potong Firman untuk menyarikan maknanya.
Berdialoglah dengan teks melalui pertanyaan reflektif, misalnya: apakah persamaan dan perbedaan situasi yang ada pada teks dengan zaman sekarang? Konflik yang ada dalam teks apakah juga menjadi konflik pada situasi sekarang ini? Apakah pesan teks untuk situasi sekarang? Perubahan sikap apa yang disarankan teks bagiku? Hal apa yang menurut teks harus tumbuh dalam diriku? Setiap kata dari teks hendaklah ditujukan pada diri sendiri. Penting kita perhatikan bahwa langkah ini adalah proses intuitif, sehingga kita dapat melakukannya seperti sedang membaca surat cinta berulang-ulang. Setiap kata begitu dinikmati dan menjadi bagian dirinya. Seorang yang membaca surat dari kekasihnya bahkan dapat hafal kalimat-kalimat yang tertulis itu.
Orang yang bermeditasi merenungkan dan merasakan kebenaran yang tersembunyi dalam Firman Allah dan menjadikannya sebagai kebijaksanaan dalam hidupnya. Merenungkan tidak berarti terus-menerus berpikir-pikir tentang teks itu, melainkan lebih meresap-resapkannya dengan mengulang-ulang teks tersebut, sampai artinya meresap ke dalam hati kita. Bermeditasi ini pada hakikatnya mendengarkan kata-kata yang dibaca secara berulang-ulang untuk menemukan makna yang terkandung dalam Firman tersebut.
Sulit menentukan dengan tegas pada saat kapan orang beralih dari meditasi ke doa sebagaimana kita sulit mengatakan dengan tepat kapan orang beralih dari masa remaja ke masa dewasa. Namun ada patokan yang dapat digunakan. Meditasi membuat makna teks itu terbuka bagi kita dan relevan dengan situasi sekarang dan memberi gambaran akan apa yang diminta Allah dari kita. Bila kita mempunyai gambaran yang jelas mengenai apa yang diminta Allah, tibalah saatnya kita bertanya: Sekarang apa yang hendak kukatakan kepada Allah? Apakah aku menerima FirmanNya atau tidak? Bila yang diminta Allah pada kita menjadi jelas, maka menjadi jelas juga segala keterbatasan, hambatan dan ketidakmampuan kita. Pada saat itu dapatlah kita memohon kepada-Nya: “Tuhan, tolonglah kami” (band. Mzm. 44:27). Dengan kata lain, meditasi ini adalah benih doa. Unsur penting untuk membantu bermeditasi yaitu: menempatkan diri kita di dalam hadirat Tuhan dan menyadari kehadiran Tuhan yang amat dekat pada kita.

3. Berdoa (Oratio).
Dalam membaca kita bertanya: “Apa yang dikatakan teks?”. Dalam meditasi kita bertanya: “Apa yang dikatakan teks kepadaku?”. Sedangkan dalam berdoa kita bertanya: “Aku diajak teks mengatakan apa kepada Allah?” Dalam langkah ketiga ini kita memberi tanggapan dan mengungkapkan perasaan di hadirat Allah, apa yang dibangkitkan dalam diri kita oleh Firman yang telah kita renungkan. Berdoa adalah tanggapan yang muncul dari hati kita atas Firman Tuhan. Doa ini dapat berupa permohonan, pujian, syukur atau penyesalan. Kita dapat mengungkapkan doa kita dalam suatu percakapan dengan Yesus atau Allah Bapa, boleh juga dengan Roh Kudus, secara spontan, seperti seorang sahabat yang berbicara dengan sahabatnya yang mengasihi dia. Percakapan ini hendaknya spontan, sederhana, wajar, tanpa dibuat-buat. Supaya tidak menjadi monolog, doa ini harus bermuara dalam kontemplasi.

4. Kontemplasi (Contemplatio).
Bila pembacaan Firman berulang-ulang meletakkan Firman pada bibir kita, meditasi menempatkan Firman dalam pikiran kita, berdoa menempatkan Firman pada hati kita, maka dengan bantuan rahmat Tuhan, kontemplasi mengukirkan Firman pada roh kita.
Kontemplasi berasal dari kata latin “contemplari”, yang berarti memandang. Doa kita berubah dari suatu percakapan menjadi suatu pandangan kasih dalam iman, dalam keheningan, tanpa kata-kata, tanpa gagasan. Bila pada awalnya saat-saat kontemplasi ini hanya singkat saja, lama kelamaan, bila kita setia, saat-saat itu dapat menjadi lebih panjang dan bila Tuhan berkenan, orang bahkan ditarik ke dalam keheningan yang besar dan keterserapan dalam Allah. Dalam keheningan dan kedamaian inilah Allah mencurahkan kasih dan kebijaksanaanNya. Walaupun demikian janganlah memaksa tinggal dalam keheningan itu bila tidak ditarik dari dalam, sebab kalau demikian keheningan itu menjadi kekosongan yang steril. Sebaliknya bila orang ditarik ke dalam keheningan dari dalam, janganlah takut, sebab itu sungguh suatu rahmat yang besar.
Kita bisa tetap diam tenang pada inti terdalam jiwa, menunggu, memandang dan merasakan kehadiranNya yang melampaui kata-kata. Kita berjumpa dengan Sang Firman itu sendiri. Kita diangkat untuk mengenal Dia yang sudah lebih dulu mengenal kita sedalam-dalamnya. Kita diangkat untuk mencintai dan dicintai dalam kekuatan Roh yang berdoa di dalam diri kita. Dengan memasuki suatu cahaya yang baru kita mengalami transformasi. Kita telah sampai pada sumber ‘air hidup’ dan diberi minum secara cuma-cuma dari Sang Penyelamat kita. Bila kita mulai keluar lagi dari keheningan, artinya tidak terpusat lagi, kita dapat mulai lagi proses dari awal, dari langkah I dan seterusnya, atau dapat juga sekedar mengulang-ulangi nama Yesus.

PENUTUP
Dalam melakukan Lectio Divina kita perlu kedisiplinan, ketenangan hati dan tentunya rahmat Tuhan sendiri. Hal terpenting bukanlah banyak berpikir tentang Firman melainkan banyak mencintai Firman. Semoga melalui Lectio Divina kita semakin mengalami persatuan dengan Tuhan.

(Diambil dari Buku Panduan Pelayanan P.Karm, CSE dan KTM).


Postingan Terkait



0 komentar: