“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu" Yohanes 15:16

Jumat, 14 Agustus 2015

Ibrani 13:1-15

Kasih Persaudaraan
(Kehidupan Kristen Dalam Praktik)

Pendahuluan
Penulis Ibrani mengakhiri suratnya dengan nasihat-nasihat yang berisi dorongan-dorongan agar pembaca surat ini mempunyai kehidupan yang berpadanan dengan iman. Wujud iman tidak hanya tampak dari keyakinan orang Kristen untuk tidak menyangkal Kristus dan ketekunannya mengikut Dia, tetapi harus juga dapat dilihat dan dipraktikkan dalam hidup sehari-hari. Praktik iman harus dimulai dari lingkungan sendiri, yaitu keluarga dan gereja. Nasihat-nasihat penulis Ibrani ini bersifat praktis agar iman para pembacanya dapat dilihat oleh orang banyak.

Penjelasan
Tekanan dari luar, penganiayaan dari orang-orang Yahudi yang membenci kekristenan tidak boleh menjadi alasan untuk hanya peduli pada diri sendiri. Justru mereka harus meneguhkan kasih persaudaraan agar bisa saling menguatkan. Wujud nyata kasih persaudaraan adalah kerelaan memberikan tumpangan kepada sesama anak Tuhan. Memberi tumpangan merupakan bentuk kebaikan yang wajar bagi setiap orang termasuk orang Kristen karena pada zaman itu belum ada hotel maupun losmen. Orang yang lelah dan lapar banyak ditemui di kota-kota ataupun di pintu rumah seseorang yang berharap diizinkan tinggal. Kristen tidak hanya harus mendemonstrasikan kebaikan itu, namun kebaikan yang didemonstrasikan itu harus melebihi kebaikan yang dilakukan oleh orang non Kristen.

Tugas-tugas sosial atau hubungan antara sesama orang percaya ini kemudian diperluas hingga mencakup juga orang-orang asing, orang-orang hukuman yang di penjara . Ungkapan kamu “sendiri juga” mengandung arti simpati dan persamaan. Orang-orang percaya diperintahkan untuk berbagi dengan orang-orang hukuman seakan-akan mereka sendiri adalah orang hukuman. Istilah "ikut merasakan" mencakup hal yang dimaksud. Selama orang-orang percaya masih di dalam tubuh jasmaniah ini, setiap orang mungkin saja menderita karena permusuhan atau dipenjarakan. Oleh karena itu mereka disuruh berbagi rasa.

Kemudian, tentu saja, hubungan kemanusiaan yang paling dekat, yakni pernikahan, harus menunjukkan semua keindahan dari kehidupan Kristen. Jika orang-orang Ibrani ini tinggal di Roma atau di kota-kota yang sudah rusak moralnya di bagian Timur Laut Tengah, maka mereka berada di tengah-tengah masyarakat di mana kesucian dan kesetiaan terhadap hubungan pernikahan kurang diperhatikan. Di sisi yang lain juga terdapat berbagai kelompok keagamaan yang menekankan petarakan dan askese. Petarakan bukan sebuah cara mengamankan diri dari kedursilaan; pernikahan yang terhormat merupakan hidup yang paling sempurna. Kesucian di dalam ikatan pernikahan merupakan suatu kesaksian kristen yang kuat. Orang yang menganggap sepele hubungan rumah tangga suatu saat harus mempertanggungjawabkan dosa dan perilaku mereka kepada Allah.

Mengenai keuangan, penulis mengingatkan, janganlah kamu menjadi hamba uang. Aphilargyros artinya "tidak mencintai uang," dan bukan serakah. Gaya hidup atau sikap yang harus dikembangkan ialah kepuasan dengan hal-hal yang tersedia, atau apa yang ada padamu. Jika gelombang penyalahgunaan dilemparkan pada orang-orang Kristen Yahudi ini oleh kalangan lain yang lebih makmur karena mereka kurang makmur. maka inilah nasihat yang sangat praktis dan serius dari Perjanjian Baru. Bukannya menikmati harta milik, orang Kristen hendaknya menikmati kehadiran dan pemeliharaan Allah, sebab Dia tidak akan pernah meninggalkan atau melupakan mereka. Jadi dengan yakin kita dapat berkata... “Aku tidak akan takut! Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?” Anak kalimat terakhir merupakan pertanyaan yang tepat sekali. Yosua 23:14 dan Mazmur 118:6 memberikan kesaksian tentang kesetiaan Allah.

Penulis Ibrani juga mendorong pembaca untuk menghormati dan meneladani pemimpin gereja mereka. Yaitu, pemimpin yang melayani dan melindungi mereka dari ajaran-ajaran sesat yang tidak berpusatkan Kristus. "Akhir hidup mereka" mungkin menunjukkan kepada upah yang mereka peroleh karena mereka setia. "Contohlah iman mereka" mirip sekali dengan apa yang dikatakan di dalam 6:12; "menjadi penurut-penurut mereka yang oleh iman dan kesabaran mendapat bagian dalam apa yang dijanjikan Allah." Kalau para pembaca berpikir, "Ya, dulu kami bisa setia, dulu waktu kami masih punya pemimpin-pemimpin yang hebat, tetapi sekarang sudah tidak sama, situasi sudah berbeda, karena mereka sudah meninggal dan ini… dan itu..." Mereka harus ingat bahwa, "Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin" (dulu waktu mereka setia, seperti diceritakan dalam pasal 6:10-11 dan pasal 10:32-34) "maupun hari ini" (di mana mereka perlu ketekunan) "dan sampai selama-lamanya" (di mana mereka boleh menikmati penggenapan janji-janjiNya).

Jika Dia “tidak berubah”, maka "berbagai-bagai ajaran asing" tidak usah diperhatikan. Mungkin ajaran-ajaran asing itu mau menarik pengikut dengan peraturan makanan yang seolah-olah lebih suci. Atau ajaran itu seolah-olah membawa pengorbanan dan mezbah yang istimewa. Tetapi jelas "kita mempunyai suatu mezbah" (ini suatu kiasan untuk pengorbanan Kristus) dan iman-iman dari peraturan Lewi tidak boleh makan dari mezbah itu. Kita disucikan, dan kita memperoleh kasih karunia, dari mezbah itu, di mana Yesus telah dikorbankan, sehingga kita tidak usah repot dengan "pelbagai makanan." (Zaman itu sarjana-sarjana dari bangsa Yahudi menulis dan menyusun Mishna, yaitu kumpulan tradisi-tradisi mereka, yang banyak memperhatikan pelbagai makanan.) Mungkin para pembaca pertama tertarik pada guru-guru ajaran sesat yang menganggap diri mereka sebagai imam-imam baru, dan kelompok mereka sebagai umat Israel yang sejati (seperti di Qumran, dekat Laut Mati). Kalau begitu, pasal 13:11-14 sangat tepat. Kita harus keluar dari "perkemahan," dan jangan ikut menikmati persekutuan orang yang sudah menolak Juruselamat kita, yang sudah "menderita di luar pintu gerbang," yaitu di luar lingkungan agama Yahudi. "Marilah kita pergi kepadaNya di luar perkemahan dan menanggung kehinaanNya." Kita sudah disuruh mendekati Dia, bersekutu dengan Dia, tetapi di sini sulitnya mendekati Dia lebih jelas. Tidak ada persekutuan dengan Yesus kecuali orang berani menanggung risiko, dan "pergi kepadaNya di luar perkemahan," yaitu di luar persekutuan mereka yang menolak Dia. Pengharapan kita untuk "kota yang akan datang," pahala kita, memungkinkan kita untuk pergi meninggalkan persekutuan rohani dari mereka yang menolak Tuhan Yesus. Dalam pelayanan Penulis, dan dalam pelayanan kita, yang membawa kuasa yang dapat mengubahkan orang adalah “kasih karunia”, dan bukan "aturan-aturan makanan."

Dalam menghadapi pergumulan, sering kita mengeluh, berkeluh-kesah bahkan berungut-sungut menyesali apa yang sedang terjadi atau bahkan tidak menerima keadaan. Penulis Ibrani mengingatkan, bahwa segala sesuatu yang terjadi harus disyukuri dan diambil hikmahnya, sehingga apapun yang terlontar dari mulut kita hanya “ucapan bibir yang memuliakan Tuhan”.

Refleksi
Bila kita amati nas dengan seksama, maka nasihat-nasihat praktis penulis surat Ibrani ini masih relevan dengan kehidupan orang Kristen dan kehidupan jemaat pada masa kini. Masih banyak orang Kristen yang hidupnya belum menunjukkan bahwa dia Kristen. Kekristenan, baru dalam kata-kata dan belum dalam perbuatan?

Tidak jarang kita melihat kasus-kasus kehidupan yang terjadi ditengah-tengah kehidupan kita sehari-hari akibat satu masalah dapat merembes memunculkan masalah yang lain. Contoh sederhananya; akibat permasalahan ekonomi keluarga dapat berdampak pada keharmonisan rumahtangga atau bahkan dapat membuat seseorang mencari uang dengan jalan yang tidak benar.

Sehingga dalam tujuan penulisan surat Ibrani ini kita diingatkan oleh Tuhan supaya orang percaya di dorong untuk tetap tabah dan setia di dalam iman, semakin dewasa secara rohani dan mempertahankan kekudusan sebagai umat pilihan Allah. Seberapa beratpun tantangan yang sedang dihadapi oleh orang percaya supaya jangan pernah meninggalkan kesetiaan kepada iman, tetap menjaga kekudusan.

Disinilah diingatkan kembali bagaimana orang Kristen itu supaya semakin dewasa secara rohani, setiap saat perjalanan kehidupan yang boleh kita lalui kita manfaatkan untuk semakin mendewasakan dan mematangkan kita. Sehingga setiap kondisi kehidupan yang kita lalui adalah untuk menempah kita menjadi orang Kristen yang tangguh dan kuat. Amin.

Pdt. Anthony L Tobing
dari berbagai sumber

Postingan Terkait



0 komentar: