Pemimpin Yang Rendah Hati
Konsep kepemimpinan umum biasanya dikaitkan
dengan konsep power (kuasa), sehingga
muncul opini publik yang mengatakan bahwa seorang pemimpin adalah seorang yang
memiliki kuasa. Praktik kepemimpinan dengan mengandalkan kuasa seringkali
identik dengan gila hormat, minta dilayani, tirani, sombong, sewenang-wenang,
dll.
Pemahaman dan praktik kepemimpinan umum
sangat berbeda dengan konsep kepemimpinan yang pernah diajarkan dan
didemonstrasikan oleh Yesus Kristus. Penting digarisbawahi di sini bahwa Tuhan Yesus
tidak meniadakan kuasa. Namun Ia memutarbalikkan konsep dan praktik kuasa. Tekanan
Tuhan Yesus sama sekali bukan pada kuasa
seorang pemimpin, namun kerendahan hati
seorang pelayan.
Penjelasan
Dalam nas ini secara tersirat dinyatakan
bahwa Yesus sedang bergerak menuju Yerusalem dan itu berarti berjalan menuju
salib yang telah menungguNya di sana. Pada kesempatan ini Yesus kembali
memberitahukan perihal derita dan kematian yang akan Dia alami.
Dalam ayat 30 dikatakan bahwa ketika
melewati Galilea bersama para muridNya, Tuhan Yesus tidak mau diketahui orang. Hal
itu menunjukkan bahwa Tuhan Yesus sangat mementingkan tujuan utamaNya datang ke
dalam dunia ini, serta rencana mempersiapkan para saksi mata, jauh-jauh hari
sebelum Ia meninggalkan dunia ini. Tuhan Yesus tidak mengutamakan popularitas.
Pada dasarnya Tuhan Yesus tidak suka menonjolkan diri; Ia dapat “menyembunyikan
diri” selama tigapuluh tahun, sebelum memulai tugas besarNya.
Namun ketika Tuhan Yesus sedang berbicara
tentang penderitaanNya, murid-murid justru sedang asyik ‘bertengkar’ tentang
siapa yang terbesar di antara mereka (ay.34). Mereka tidak mengerti apa yang
sedang dibicarakan Yesus. Mereka asyik dengan pikiran mereka masing-masing.
Mereka tidak sungguh mengerti arti ke Mesias-an Tuhan Yesus. Mereka begitu
terpaku dengan kuasa dunia. Karena itu mereka berpikir siapa yang terbesar, siapa
yang akan menjadi pemimpin setelah kematian-Nya. Dapat kita bayangkan bagaimana
perasaan Tuhan Yesus mengetahui pola pikir para murid yang telah Dia didik
secara khusus itu. Ketika Dia sedang berjalan menuju salib, mereka justru
berebut kuasa.
Mereka lupa bahwa panggilan mereka menjadi murid adalah panggilan untuk menderita bersama Kristus. Mereka lupa bahwa mereka dipanggil untuk melayani seperti yang diteladankan oleh Yesus sendiri. Karena itu Tuhan Yesus menegur mereka dengan berkata: “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya” (ay.35).
Pandangan Tuhan Yesus berbeda dari
pandangan dunia yang menganggap bahwa kebesaran ditentukan oleh seberapa banyak
orang yang melayani kita. Dunia memang mencari kebesaran dalam bentuk kuasa,
popularitas, dan kekayaan. Ambisi dunia adalah menerima perhatian dan
penghargaan. Lalu salahkah berambisi menjadi orang besar? Bukan demikian. Yesus
ingin meluruskan pandangan bahwa kebesaran adalah menjadi orang pertama,
sementara orang lain menjadi nomor dua, tiga, dan seterusnya. Kebesaran sejati
bukan menempatkan diri di atas orang lain supaya kita dimuliakan.
Kebesaran sejati adalah menempatkan diri kita untuk melayani dan menjadi berkat bagi sesama. Misalnya seorang dokter. Ia dianggap besar bukan karena ia seorang spesialis yang bekerja di rumah sakit mahal. Atau karena ia sering menjadi pembicara di seminar-seminar kesehatan. Ia dianggap besar bila ia juga menyediakan waktunya untuk menangani dan melayani orang-orang miskin.
Tuhan Yesus mengajarkan kepemimpinan yang
sejati. Bagi yang ingin di depan haruslah menjadi yang paling belakang.Yang
ingin menjadi pemimpin, harus menjadi hamba. Untuk menjelaskan ini, Ia lalu
merangkul seorang anak kecil sebagai model (ay.36).
Seorang anak kecil tidak memiliki pengaruh sama sekali, tidak memiliki kuasa bahkan dianggap lemah. Namun Yesus berkata, siapa yang menyambut sesamanya yang “tidak berarti”, ia menyambut Tuhan. Kebesaran seorang pemimpin kristen tidak terletak pada berapa orang yang menjadi pengikutnya tetapi berapa banyak orang yang dilayani. Kebesaran seorang pemimpin kristen terletak justru pada komitmennya kepada mereka yang tersisih, kecil, marjinal, dan sering terlupakan.
Tuhan Yesus membalikkan 180° konsep kepemimpinan yang dimiliki kebanyakan orang termasuk para murid-muridNya. Alkitab menulis bahwa tidak seorang pun yang kuasanya melebihi Dia (Yoh. 13:3). Keempat Injil mencatat segala perbuatan ajaib yang pernah dilakukanNya. Namun Yesus tidak pernah sekalipun menggunakan kuasaNya untuk kepentingan diri pribadi. Ia menganggap kuasaNya sebagai sesuatu untuk Ia pakai untuk melayani orang lain.
Refleksi
"Bagaimana pendapat Anda tentang para calon
tadi?"
Itulah pertanyaan yang dilontarkan seorang wartawan majalah berita kepada
seorang wanita muda di Universitas Dartmouth seusai diadakannya acara debat di
antara para calon presiden. Wanita muda itu tidak mengucapkan sepatah kata pun
mengenai posisi calon-calon itu maupun kemampuan mereka sewaktu berdebat. Ia
hanya mengucapkan, "Tak seorang pun
di antara mereka yang memiliki kerendahan hati."
Hasrat untuk menjadi yang terbesar dapat
mengancam keefektifan kita sebagai murid Tuhan. Hasrat untuk dimuliakan
seharusnya tidak dimiliki seorang pengikut Yesus, sebab hasrat itu akan
menggiring orang pada pemanfaatan segala cara demi ambisi yang salah. Apa
solusinya? Milikilah hati seorang hamba. Bersiaplah mengutamakan orang lain dan
merendahkan diri sendiri. Ingatlah bahwa Tuhan Yesus telah rela dianggap tak
berarti dan memikul salib bagi kita.
Tuhan Yesus menekankan kehadiranNya didalam
diri orang-orang sederhana. Seorang anak kecil pun dapat menjadi kehadiranNya.
Jika seseorang menerima orang-orang lemah, ia menerima Yesus. Seringkali kita
lalai dalam memberikan perhatian yang layak kepada orang-orang yg kita anggap
remeh, entah karena dia bodoh, miskin, jelek, dsb.
Memiliki keinginan, harapan dan ambisi dalam
hidup itu tidak salah! Tetapi apakah keinginan, harapan, dan ambisi itu didorong
oleh kesombongan diri semata untuk menjadi orang terbesar? Apakah setiap
tanggung jawab yang kita emban, misalnya sebagai pimpinan, orang tua, guru, dan
apa pun profesi hidup kita, kita hayati sebagai panggilan untuk melayani Tuhan
dan sesama?
Kepemimpinan ala Tuhan Yesus Kristus sangat
sulit dan sangat tidak alami. Namun konsep tersebut terus-menerus menantang kita
agar dipraktikkan. Seiring dengan itu kita juga terus-menerus diperdaya oleh godaan
‘kuasa’, yang pernah dialami para murid; yang selalu ingin menjadi yang
terutama, yang terkemuka, yang terdepan, yang terhebat.
Kiranya Allah menolong kita untuk melepaskan diri dari jerat ‘kuasa’, dan mengalami kemerdekaan untuk menjadi pemimpin sejati yang melayani Tuhan dan sesama dengan penuh kerendahan hati. Amin.
2 komentar:
Syalom, Horas ma di amang pdt.
Permisi copy paste khotbah muna laho bahan sermon. Mauliate.
Syalom, Horas ma di amang pdt.
Permisi copy paste khotbah muna laho bahan sermon. Mauliate.
Posting Komentar