Hiduplah Dalam Pembenaran,
Pengudusan dan Kasih
Pendahuluan
Usaha manusia untuk membebaskan diri dari
kekuasaan dosa, seperti yang dilakukan oleh sebagian orang melalui menuruti
hukum taurat itu sama saja dengan usaha yang dilakukan Adam dan Hawa di Taman
Eden untuk menutup ketelanjangan mereka setelah memakan buah larangan itu.
Usaha yang kita sebut sebagai “agama daun pohon ara” itu sia-sia karena tidak
memenuhi standar kekudusan surga.
Hanya penebusan yang dilakukan Kristus di
kayu salib yang dapat mengatasi dan menyelesaikan masalah dosa manusia, sekali
dan untuk selamanya. Penebusan itu memenuhi syarat oleh karena menghasilkan
pengampunan dosa dan menyebabkan manusia dibenarkan dari pelanggaran terhadap
hukum Allah.
Kematian (penebusan) Kristus adalah
manifestasi dari campur tangan Allah untuk menanggulangi akibat dosa.
Intervensi ilahi ini harus dilakukan karena itulah jalan satu-satunya agar
dapat membebaskan manusia yang sudah menjadi “hamba dosa”, yang tidak dapat
membebaskan diri sendiri dari kematian.
Ayat 12-14 Bukan dikuasai dosa tapi
dikuasai Kasih Karunia
Manusia bisa lepas dari jerat dosa dan
luput dari murka Allah, bukan karena usaha tetapi kasih karunia Allah.
Terdengarnya mudah sekali bukan? Apakah anugerah Allah itu tidak akan
disalahgunakan orang untuk tetap hidup dalam dosa? Tidak boleh! Paulus
menyanggah kesimpulan sembarangan itu. Anugerah bukan saja memberikan
pengampunan dosa, tetapi juga menyebabkan kelepasan dari dosa (ay. 2). Diselamatkan
berarti diberikan hidup baru (ay. 4), yaitu hidup yang datang dari Kristus
yang telah mati dan bangkit bagi kita.
Semua Kristen pasti bergumul melawan dosa.
Paulus mengingatkan bahwa sifat menyukai dosa itu sudah mati oleh kuasa salib
Kristus. Yang Tuhan karuniakan dalam orang percaya ialah sifat ingin menyerahkan
diri bagi kemuliaan Tuhan. Persis teladan Kristus. KebangkitanNya telah
mengerjakan itu dalam kita.
Janganlah kekuatan yang mengasingkan kita
dari Allah (dosa) itu menguasai hidup kita. Janganlah menyerah kepada
kerinduan, keinginan dan kecenderungan yang hanya akan memosisikan diri kita
dalam perlawanan dengan Allah. Sekali dan untuk selamanya, hendaknya kita
menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, harfiahnya menjadi hamba Allah.
Sehingga Allah dapat memakai kita untuk melakukan apa yang benar. Jangan
membiarkan kekuatan dosa menguasai pribadi kita. Sebab sekarang kita hidup
dalam pengaruh ’kasih karunia’ dan tidak dibawah pengaruh ’hukum Yahudi’ yang
telah digenapi dalam diri Yesus Kristus.
Karena itu, kita wajib memiliki iman
konsisten. Ingat, pikirkan, dan resapi bahwa kita sudah mati bersama Kristus.
KematianNya telah menghancurkan kuasa dosa dalam kehidupan kita. Aktiflah
memperlakukan dorongan dosa sebagai hal yang telah mati oleh Kristus! Aktiflah
juga mengingat dan bersyukur bahwa semua potensi dan seluruh keberadaan kita
adalah dari Allah dan hanya untuk memperkenan Dia.
Ayat 15-19 Dimedekakan dari dosa menjadi Hamba Kebenaran
Pada zaman Paulus, seorang budak atau hamba
adalah seorang yang hidupnya bergantung pada orang lain dan dikontrol penuh
oleh tuannya itu. Begitulah keterikatan yang manusia alami bila berbuat dosa
atau menyerahkan diri kepada dosa. Namun Paulus mengingatkan bahwa karena kita
telah diselamatkan oleh Kristus, kita telah dibebaskan dari perhambaan dosa
itu. Kita bukan lagi hamba dosa. Jadi kita tidak perlu lagi taat kepada dosa
dan menjalani hidup yang menuju kepada kebinasaan.
Kristus telah membebaskan manusia dari ‘yang
jahat’ untuk menyerahkannya kepada Allah. Seorang budak yang ditebus dan
dimerdekakan tidak lagi dapat dijadikan budak, tetapi wajib mengabdi majikannya
yang baru dengan setia. Kristus telah menebus kita dengan harga darahNya
sendiri, dan telah memerdekakan kita serta memanggil kita untuk kebebasan.
Selanjutnya orang Kristen bebas dari majikan-majikan lama, yaitu: dosa, hukum
Taurat, aturan-aturan lahiriahnya, bebas dari "roh-roh
dunia", dari kebinasaan. Maka tidak bolehlah orang Kristen kembali
menjadi budak mereka. Ia telah menjadi merdeka.
Tetapi kemerdekaan itu tidaklah sama dengan
berbuat semau-semaunya. Kemerdekaan itu tidak lain kecuali mengabdi Majikan
baru, yaitu Allah. Sebab orang beriman telah menjadi milik Allah, dan
untuk Dialah orang Kristen hidup dan mati, dan orang Kristen mengabdi oleh
karena ketaatan iman dan demi untuk kebenaran dan kekudusan.
Kekudusan adalah sifat khusus Allah.
Kekudusan itu oleh Allah dikaruniakan kepada umatNya, dan kepada mereka yang
percaya kepada Kristus. Kekudusan itu tidak lain dari mengikuti teladan
Kristus, "Yang Kudus dari Allah". Mereka yang percaya akan
penebusan Kristus termasuk dalam umat yang kudus, yang diharapkan tetap menjaga
dan mengamalkan kekudusan yang dikaruniakan Allah itu semakin maju lagi.
Ayat 20-23 Hidup Baru di dalam Kristus
Dedikasi pada dosa akan berakhir pada
kematian, tetapi dedikasi pada ketaatan akan berakhir pada kehidupan kekal (Rm.
8:13). Oleh karena itu gaya hidup berdosa dan tiap perbuatan dosa tidak cocok
lagi dilakukan orang percaya yang hidup di bawah kasih karunia Allah.
Tanda-tanda orang yang telah menerima
anugerah pembenaran adalah sikap hidup yang berubah total. Kristus yang hadir
di dalam dirinya menghasilkan seluruh perubahan itu. Anugerah pembenaran
diberikan Kristus agar kita dibebaskan dari perbudakan dosa supaya kita merdeka
sebagai milik Kristus dan hidup bagi Dia. Maka menjaga kekudusan hidup menjadi
hal yang sangat penting sebab kita telah menjadi milik Allah dan tubuh kita
telah menjadi Bait Allah (1Kor. 3:16).
Bila kita telah menerima anugerah
pembenaranNya dengan penuh rasa syukur, bukankah seharusnya kita tidak sekadar
menjaga diri dengan baik, tetapi juga menyediakan hidup yang terbaik untuk
menyambut kehadiranNya di dalam diri kita? Ingatlah bahwa kepatuhan pada dosa
akan membuat hidup kita tidak berbuah, memalukan, dan berujung pada maut. Namun
ketaatan pada kebenaran akan berakhir pada pengudusan dan kehidupan kekal.
Refleksi
Kasih karunia Allah yang telah kita terima melalui
kematian Kritus mengajak kita untuk merenung ulang betapa besar harga
keselamatan yang telah kita peroleh. Kita diselamatkan oleh Allah dengan harga
yang begitu mahal yakni oleh darah Kristus. Sehingga kita yang semula adalah
hamba atau budak dosa dijadikan oleh Allah sebagai “hamba-hamba kebenaran” (6:18).
Peralihan dari “hamba dosa” kepada “hamba
kebenaran” (hamba Allah) adalah sebuah pengalaman sangat istimewa yang
momentumnya perlu terus dipelihara, agar seseorang yang semula diperhamba oleh
dosa menyadari akan kemerdekaannya sehingga tidak selalu merasa dikendalikan
oleh kuasa dosa. Sebaliknya, menjadi hamba kebenaran adalah memiliki kebebasan
untuk melakukan hal-hal yang benar tanpa dihalang-halangi lagi oleh kuasa dosa
yang sudah tak berdaya lagi. Konsekuensinya adalah agar kita sungguh-sungguh
mau menggunakan atau menyerahkan anggota-anggota tubuh kita kepada Allah untuk
menjadi “senjata-senjata kebenaran” (6:13).
Tetapi realitanya justru sering tidak
demikian! Anggota-anggota tubuh kita sering kita jadikan sebagai senjata
kelaliman, yaitu alat duniawi untuk mereguk berbagai hawa nafsu dosa. Anggota
tubuh kita sering menjadi alat yang efektif untuk menindas, mengeskploitasi dan
merampas hak milik orang lain. Seringkali kebiasaan hidup berdosa yang sudah
mendarah-daging itu masih terbawa terus walaupun kita sekarang sudah menjadi
hamba Allah. Seperti mantan narapidana yang baru dibebaskan setelah
bertahun-tahun meringkuk di balik jeruji besi, acapkali agak sukar baginya
untuk bisa langsung berperilaku sebagai orang merdeka.
Siapa yang kita layani, dialah majikan kita
dan kitalah budaknya. Bila orang tetap mengikuti kemauan diri dan menghalalkan
segala cara untuk mencapainya, itu berarti bahwa dia masih menjadi budak dosa.
Namun yang berusaha sebaik mungkin untuk melakukan kebenaran dan hidup di
dalamnya, dia adalah manusia baru di dalam Kristus. Ukuran keberhasilan bagi
dia bukan lagi mendapatkan yang diinginkan, tetapi melakukan kebenaran, kekudusan dan kasih
sebagai ungkapan syukur kepada Allah, yang menganugerahkan hidup. Tujuan
hidupnya bukan lagi kesenangan di dunia yang sementara ini, melainkan kehidupan
kekal sebagai anak Allah.
Ilustrasi
Menurut kisah, pada abad keempat belas ada
dua orang laki-laki bersaudara yang saling berperang demi untuk gelar adipati (Duke)
di negeri yang sekarang dikenal sebagai kerajaan Belgia. Sang kakak bernama
Raynald, tapi lebih dikenal dengan nama julukan “Crassus” yang dalam bahasa
Latin berarti “Si Gendut.” Raynald ini gendutnya memang bukan main. Dalam
peperangan itu adiknya, Edward, berhasil mengalahkan sang kakak dan mengambil
alih kekuasaan sebagai Adipati yang baru. Tidak seperti biasanya dalam
peperangan memperebutkan takhta kekuasaan, Edward tidak langsung membunuh
Raynald yang berhasil dikalahkannya itu, tetapi memenjarakannya di salah satu
ruangan yang sengaja dibuat dalam kastilnya sebagai kamar tahanan buat sang
kakak. Anehnya, kamar tahanan yang berpintu satu dan berjendela satu itu sama
sekali tidak dikunci tapi dibiarkan terbuka dan tanpa pengawalan. “Kalau kamu bisa keluar dari ruangan ini,
kamu boleh menduduki kembali takhtamu,” kata Edward kepada Raynald.
Tetapi masalahnya bukan pada pintu atau
jendela yang ukurannya normal, melainkan pada diri Raynald sendiri. Tubuhnya
yang sangat kegendutan mustahil bisa melewati pintu atau jendela itu untuk
meloloskan diri. Dia harus berdiit habis-habisan dalam waktu cukup lama agar
bisa menurunkan berat badannya mendekati normal, dan dengan sedikit usaha
niscaya dia baru bisa keluar memerdekakan diri. Namun, Edward terus saja
mengirimi kakaknya itu makanan-makanan lezat yang berlimpah, termasuk berbagai
jenis coklat yang menggiurkan, sehingga meskipun Raynald sangat rindu untuk
bebas tapi kerinduannya itu tidak pernah berhasil mengalahkan seleranya untuk
terus melahap makanan-makanan yang disajikan. Terhadap tudingan bahwa Duke
Edward berlaku kejam terhadap kakaknya, sang adik hanya menjawab, “Kakak saya itu bukan dipenjarakan, sebab
dia boleh meninggalkan ruangan itu kapan saja dia mau.” Raynald mendekam
selama sepuluh tahun di kamar itu sampai orang-orang datang membantunya keluar
dengan membobol pintu setelah Edward tewas dalam suatu pertempuran.
“Apa
yang membuatnya begitu buruk ialah perbudakan itu bukan semata-mata dipaksa
dari luar; sebaliknya, itu datang dari dalam diri kita. Bagaimana kita bisa
dibebaskan dari suatu perbudakan, suatu perhambaan, yang berasal dalam diri
kita, bahkan di dalam sifat alamiah kita?…Jawabnya, sebagaimana telah kita
lihat pada ayat-ayat di atas, hanya datang dari kuasa Yesus saja, yang sudah
menang untuk kita dan yang menawarkan kepada kita kuasa untuk mengatasinya”.
Amin.
Pdt.
Anthony L Tobing
Dari berbagai sumber
2 komentar:
Mantap ulasan Pendeta, terbantu utk refrensi Khotbah, mohon kakau bisa dihari senin, atau selasa sudah terbit ulasannya spy kami para Penatua ini lebih lama lg wakru kami mendalaminya
Terimakasih Bapak Hendri Yunus Pinem... Akan saya upayakan Pak. TYm
Posting Komentar