“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu" Yohanes 15:16

Rabu, 09 November 2011

Mikha 6:6-8 (Khotbah Epistel)

Ibadah Yang Berbuah

Pendahuluan
Sejak zaman Perjanjian Lama (PL) telah terjadi penyimpangan-penyimpangan, kepura-puraan, kemunafikan juga penyelewengan dalam ritual keagamaan. Ibadah yang dilakukan telah merusak makna ibadah yang sesungguhnya. Nabi Mikha tampil membawa pesan Allah dengan kritik yang tajam terhadap kehidupan keagamaan seperti itu, yang dilakukan sebagai rutinitas belaka yang penuh penyelewengan.

Penjelasan
Apa yang dilakukan bangsa Yehuda dalam memberi korban persembahan telah menyimpang dari apa yang Allah maksudkan. Korban persembahan tidak lagi dimaksudkan sebagai ungkapan syukur umat melainkan sebagai sogokan atau suap agar Allah meredakan amarah-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah mereka sudah terpengaruh oleh ibadah kafir. Juga kelakuan bangsa itu tidak lagi mencerminkan ibadah yang berkenan bagi Allah. Mereka memberi korban persembahan kepada Allah sekaligus menyakiti hati Allah dengan tingkah laku mereka yang senang melakukan ketidak-adilan, tidak setia dan penuh kesombongan.

Ada perbedaan yang mendasar antara pengertian umat PL dan gereja abad pertama tentang persembahan. Dalam PL persembahan erat hubungannya dengan upacara korban. Dalam Imamat 1-7 terdapat beberapa contoh jenis persembahan korban, seperti korban bakaran, korban sajian, korban keselamatan, korban penghapus dosa dan korban penebus salah. Namun begitu PL juga mengenal persembahan persepuluhan dalam bentuk hasil ladang, ternak atau uang (Ul. 14:22-27). Dalam gereja abad pertama, persembahan berkaitan dengan perjamuan. Saat itu belum ada pemisahan antara perjamuan kudus dengan perjamuan kasih. Orang membawa persembahan dalam bentuk makanan atau uang sebagai biaya untuk untuk penyediaan makanan dengan tujuan supaya orang miskin yang tidak punya makanan di rumah bisa ikut makan. Persembahan dalam PL bersifat kultis dan ritual, sedangkan persembahan gereja bersifat diakonial. Meskipun berbeda sifat, namun pada hakekatnya persembahan PL dan persembahan gereja merupakan ungkapan syukur umat kepada Allah.

Ungkapan syukur kepada Allah itu harus nyata dalam ibadah dan praktik. Allah ingin umat-Nya melaksanakan ibadah dengan baik, benar dan indah sebagai ungkapan syukur kepada-Nya. Namun Allah juga menginginkan umat-Nya mempraktikkan ungkapan syukur itu dalam kehidupan yang adil, setia dan rendah hati di hadapan-Nya.  Allah mau agar umat-Nya menyembah Dia dalam ibadah yang ‘benar’ dan mempraktikkan ibadah itu dalam kehidupan nyata.

Ada tiga praktik dalam kehidupan nyata yang digambarkan oleh Mikha dalam nas ini:
1. Berlaku adil, artinya adalah kita tidak boleh hidup dengan semena-mena dan sesuka hati. Mengerti apa yang menjadi hak Allah dan apa yang menjadi hak kita. Salah satu hak Allah adalah perpuluhan (Maleakhi 3:10).  Hak Allah yang lain adalah dendam dan pembalasan (Ulangan 32:35). Hak kita adalah menerima berkat-nya, kewajiban kita adalah melakukan penyembahan dan persembahan. Juga mengerti apa yang menjadi hak orang lain.
2. Mencintai kesetiaan, arti kesetiaan adalah tidak menyeleweng, tidak setengah-setengah dan bertahan sampai akhir. Setia kepada Allah dalam segala hal, kondisi dan situasi. Bangsa Israel angkatan pertama (yang berumur 20 tahun ke atas ) selain Yosua dan Kaleb tidak dapat masuk ke tanah Kanaan karena mereka tidak setia pada Allah. 
 3. Hidup dengan rendah hati, arti rendah hati adalah tidak congkak atau sombong. Menyadari bahwa segalanya yang kita miliki adalah anugerah dari Allah dan hanya untuk kemuliaan Allah.

Refleksi
Dalam kehidupan orang Kristen, ada orang-orang yang menekankan pentingnya ibadah ritual dan liturgis Kristen yang baik, benar dan indah. Secara ekstrim mereka hanya memikirkan bagaimana ibadah berjalan baik, kidung dinyanyikan dengan benar, ibadah berjalan dengan minim kesalahan, meningkatkan jumlah anggota dan jumlah persembahan, proyek pembangunan fisik gereja, program-progam kerja yang spektakuler. Sehingga mereka menjadi terbiasa dengan pola pikir ‘tembok gereja’, tidak mampu melihat ke luar; bagaimana dengan kehidupan anggota jemaatnya, apakah mereka sedang membutuhkan pertolongan,  pendampingan, penghiburan, penguatan, kunjungan?

Yang lain, menekankan pentingnya kehidupan praktis dari iman Kristen. Secara ekstrim mereka mengganggap bahwa yang lebih penting bukan persekutuan di gereja melainkan praktik yang nyata. Alasan mereka biasanya; di gereja mereka tidak memperoleh ‘berkat’ dari Allah, malahan justru dosa yang diperoleh karena sejak dimulai sampai berakhinya suatu ibadah terdapat banyak ketidakberesan, kepura-puraan dan kemunafikan. Kalau sudah demikian lebih baik kita hidup saleh di luar dengan mempraktikkan keadilan, kesetiaan pada Allah dan kerendahan hati di hadapan-Nya. Pertanyaannya: Apakah jika rumah kita berantakan, kotor, tidak nyaman untuk ditinggali maka kita mencari hotel untuk tempat tinggal? Bukankah seharusnya kita sendiri yang membersihkan agar kita merasa nyaman tinggal di dalamnya? Apakah tepat alasannya, jika kehidupan gereja kita tidak nyaman lalu kita menjadi tidak perlu ke gereja, bersekutu bersama-sama umat menghadap dan menyembah Alllah?

Melalui nas ini, kita diingatkan untuk tidak bersembunyi di balik pengertian ibadah yang sempit, penuh kepura-puraan dan kemunafikan, melainkan melakukan ibadah dan persekutuan yang juga berbuah dalam kehidupan nyata; penuh keadilan, kesetiaan dan kerendahan hati. Itulah persembahan hidup yang harum, yang berkenan bagi Allah. Amin.

Pdt. Anthony L tobing

Postingan Terkait



0 komentar: