“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu" Yohanes 15:16

Rabu, 16 November 2011

The Power Of Forgiveness (Kuasa Dalam Pengampunan)

Mengampuni atau tidak mengampuni adalah isu lama. Anda bertanya: berapa tua sih isu ini? Jawab: Setua adanya manusia di dunia ini! Setiap orang punya keunikan masing-masing maka tidak jarang terjadi silang pendapat disebabkan perbedaan nilai-nilai yang dianut, persepsi, sikap, kebutuhan, motivasi, dll. Pantasan bisa terjadi konflik, baik terbuka maupun tertutup sehingga membuat orang stres. Nah dulu, isu "mengampuni" hanya dibicarakan oleh kelompok orang-orang Kristen, sedangkan kalangan sekuler menganggapnya remeh dan sinis. Namun, tidak demikian di era teknologi, informasi dan pengetahuan saat ini. Mengapa? Ilmu kedokteran modern dan psikologi menemukan pentingnya spirit pengampunan sebagai kunci kesehatan mental dan fisik. Karena itu, Alkitab sudah memuat dan menyuruh kita untuk melakukannya selama 3500 tahun.

Penulis mengangkat topik ini sebab melihat situasi nyata umat-umat Tuhan dewasa ini di beberapa daerah, wilayah bahkan beberapa negara yang pernah dikunjungi penulis bahwa spirit pengampunan yang ingin ditanamkan oleh Juruselamat kita, jarang dan sulit diterapkan. Masalah mengampuni bagaikan komoditi yang sangat mahal harganya sehingga orang tidak mau menggunakan. Sebagai akibat, banyak orang tidak bertegur sapa, baik di kalangan keluarga, di tempat kerja bahkan di gereja. Hubungan sosial membeku, situasi kebaktian di gereja tidak nyaman, anggota jemaat mudah tersinggung dan tidak sedikit yang migrasi ke gereja lain - bahkan membentuk kumpulan kebaktian baru. Hal ini sedemikian kritis menimpa umat-umat Tuhan yang konon sedang menantikan kedatangan Maha pengampun,Yesus Juruselamat kita.

Sekali waktu, topik diskusi sekolah sabat pada sebuah gereja di Paman Sam adalah tentang pengampunan. Beberapa anggota memberi pendapat berbeda tentang apakah harus mengampuni orang yang "sungguh besar kesalahannya?" Banyak pro-kontra, namun akhirnya seseorang mengatakan...."Ya ndak apa-apalah karena justru dengan adanya ketidakakuran dan tegur sapa, kami boleh mendirikan kumpulan kebaktian baru, kan juga pertumbuhan gereja. Kami juga melakukan doa subuh sekali seminggu". Penulis yakin bahwa doa subuh untuk pertumbuhan rohani sangat baik dilakukan, namun tanpa roh pengampunan, Bapa di surga tidak akan mengampuni kita, alias sia-sia pengorbanan bangun subuh, bukan? Markus 11: 25-26 "Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di surga mengampuni kesalahan-kesalahanmu. Tetapi jika kamu tidak mengampuni, maka Bapamu yang di surga juga tidak akan mengampuni kesalahan-kesalahanmu." Bukankah ini pernyataan tegas dari Yesus kepada kita?

Setahu penulis, kebanyakan orang, kalau boleh dikata, semua orang yang berdoa mengakhiri setiap kalimat doanya dengan "Ampuni kami akan segala dosa kami" - kalimat yang sudah dihafal. Itu berarti bahwa kita ingin dosa/kesalahan kita dihapuskan oleh Bapa yang penuh pengampunan itu. Seringkali kita tidak menyadari kata-kata yang kita ucapkan pada ’Doa Bapa Kami’, khususnya pada kalimat... ampunilah kesalahan kami seperti kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami - doa yang dilayangkan bersama pada acara kebaktian minggu. Kenyataannya, kita tidak mau mengampuni orang lain. Bisa saja dosa kita jauh lebih besar dari orang yang menyakiti kita, kan? Rasanya tidak fair, kita minta diampuni tetapi tidak mau mengampuni. Sebelum kita menyadari betul akan besarnya pengampunan Allah bagi diri kita sendiri, maka kita akan sulit mengampuni orang lain. Kunci pertumbuhan kerohanian dan kecurahan roh suci di gereja adalah pengampunan dan semangat persatuan (kasih). Kursi-kursi gereja terlihat semakin kosong, gosip semakin banyak, perjamuan kudus dilakukan tanpa makna sesungguhnya, situasi kebaktian kalanya kamuflase - disebabkan karena unforgiving spirit. Sungguh Allah sedih melihat situasi ini, bukan?
Haruskah bertambahnya gereja secara kuantitas terjadi karena tidak adanya pengampunan? Sepertinya tidak! Allah ingin umat-umatNya berbakti berlandaskan kasih sayang persaudaraan, saling menguatkan karena Alllah mengasihi semua orang, baik yang terluka maupun yang melukai. Bila ada semangat persatuan dan kasih, maka pertumbuhan gereja akan mengikut. Allah mengendalikan seluruh alam semesta dari takhtaNya. Spirit tidak mengampuni merintangi kemampuanNya untuk bekerja dalam hidup kita, dan harga yang harus kita bayar sangatlah mahal.

Seorang ibu yang segar bugar, tiba-tiba diserang penyakit yang nampaknya sangat serius. Dalam waktu kurang dari seminggu ia merasakan sulit bernafas, seakan-akan oksigen tidak mampu menembus masuk kedalam paru-paru dan sulit mengeluarkan karbon dioksida. Penyakit itu datang secara akut, rupanya diafragmanya mengalami masalah sehingga tak mampu mengembang-kempiskan paru-paru untuk menarik O2 dan mengeluarkan CO2. Segala upaya dilakukan di rumah sakit, doa demi doa dilayangkan oleh umat-umat Tuhan yang selalu menjenguknya di rumah sakit dengan penuh kasih sayang. Kemudian atas saran seorang pendeta, semua anggota keluarga kumpul bersama, berdoa sungguh-sungguh dan saling memaafkan, maka ....benar, mujizat terjadi, ibu berangsur-angsur bisa bernafas lega dan akhirnya terjadi happy ending. Ibu telah pulih kembali dan melanjutkan kehidupan yang baik sampai saat ini. Ketika penulis berdiskusi dengan beliau, penulis menganalisa dan menyimpulkan bahwa penyakit akut yang dialaminya adalah stress-related. Sebelum menderita penyakit, beliau menyimpan rasa marah yang sangat besar disertai dendam pada seseorang yang benar-benar sungguh menyusahkannya. Bisa dipahami bahwa secara manusiawi, beliau sangat terluka oleh perilaku kasar dan sangat menyakitkan sehingga menyebabkan konsekuensi fisik yang terlalu besar untuk ditanggung.

Setiap orang pernah dilukai dan pernah melukai orang lain bukan? Bila kita terluka karena perlakuan kasar/tidak adil, maka rasa dendam dan kepahitan akan tersimpan dalam diri sendiri, sangat berbahaya kalau tidak diselesaikan. Hal ini merupakan racun mematikan, bukan hanya merusak hubungan sosial melainkan juga gangguan mental dan fisik. Banyak penelitian ilmiah membuktikan bahwa marah, dendam, jiwa berontak, sakit hati, benci dan tidak mengampuni menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti: sakit jantung, tegang otot, diabetes, darah tinggi, gastritis, daya tahan tubuh berkurang akhirnya menderita segala jenis penyakit. Pantasan Mrs White menulis jauh sebelum dibuktikan ilmiah dewasa ini bahwa "sembilan dari sepuluh penyakit yang diderita manusia berasal dari pikiran, dan hubungan antara pikiran dan tubuh sangatlah erat" (Mind, Character & Personality, 1977).

Allah pencipta manusia mengetahui seluk beluk organ manusia serta fungsinya masing-masing, dan sudah memberi kita petunjuk agar kita hidup sehat dan bahagia. Salah satu obat mujarab untuk pulih dari penyakit mental dan fisik adalah melalui pengampunan. Allah rindu kita hidup penuh damai sejahtera karena memang itulah rencanaNya bagi manusia, dan bukan rancangan kecelakaan. (Yeremia 29: 11) Kita sendirilah yang kadang-kadang membuat hidup ini menderita disebabkan karena overweight bagasi emosi yang merusak. Dalam banyak kesempatan pada seminar-seminar yang penulis lakukan, seringkali peserta diberi tantangan untuk merefleksi beberapa pernyataan seperti "kita tidak dikejar-kejar orang, melainkan oleh pikiran kita sendiri yang membuat hidup tidak bergairah, penuh penderitaan dan burnout". Hampir semua peserta setuju dengan pernyataan tersebut. Lalu pertanyaan muncul: bagaimana supaya pikiran kita tidak mengejar-ngejar alias menghantui tuannya sendiri? Tidak ada jalan lain kita harus kembali kepada resep handal yang diberikan oleh Pencipta kita. “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat. 11:28), kata Penyembuh Agung itu. Itu berarti, kita harus menurut dan melakukan segala hukum dan kehendakNya yang tertuang dalam Alkitab. Banyak resep mujarab tanpa biaya boleh kita peroleh dari firman Allah itu. Bacalah resep-resep itu dengan tekun dan laksanakan! Pasti hidup Anda bahagia!

Kisah Edith Eva Egar, seorang wanita Yahudi berusia 17 tahun berikut ini sangat menggugah rasa simpati, menggetarkan hati sekaligus pelajaran berharga untuk kita renungkan. Anda ingin tahu? Ceritanya begini: Masa perang dunia II, beliau dan kakaknya Magda bersama ibunya dibawa ke Auschwitz Death Camp di Polandia atau orang Jerman suka bilang Konzentration Kamp. Kekejaman pemerintahan Hitler meninggalkan luka parah emosi dan mental yang sulit dilupakan oleh semua orang di seluruh dunia. Mereka bertiga berada dalam antrian, menunggu instruksi petugas kejam, apa yang harus mereka lakukan. Ia memerintah ibu antri sebelah kanan, Edith dan kakaknya Magda harus ke antrean kiri, tapi Edith bersikeras tak mau pisah dari ibu. Dengan paksa, ia diseret ke sebelah kiri sambil memandang ibunya yang mulai berjalan masuk ke sebuah ruangan. Itulah saat terakhir Edith melihat ibu sebab ketika ia bertanya dengan penuh kesedihan dimana ibunya berada, seorang tawanan katakan: tengok kepulan asap yang keluar dari cerobong itu, disanalah ibumu, sudah dibakar!

Hidup di Konzentration Kamp penuh penderitaan, kelaparan dan perlakuan kejam. Para tawanan dengan tanpa busana disuruh berdiri di lapangan terbuka pada suhu kadang-kadang menembus -30C (minus 30 dibawah titik nol) Dapatkah Anda bayangkan bagaimana dinginnya suhu, kekejaman dan kebrutalan perlakuan saat itu? Ribuan tawanan yang kurus kering satu persatu jatuh ke tanah, mati karena kelaparan dan kedinginan.. Penulis sempat mengunjungi satu tempat di Dachau, Jerman yang juga melakukan kegiatan serupa di Zaman Hitler dulu. Sungguh mengerikan, menimbulkan emosi yang bercampuraduk bagi para peziarah, dan mampu membuat Anda meneteskan air mata, menimbulkan kebencian mendalam terhadap para pelaku kejahatan kemanusiaan itu!

Bagaimana dengan Edith? Ia sebetulnya mendapat perlakuan khusus sebab dia penari balerina terkenal yang boleh menghibur para pejabat.. Rasa humornya tetap dipertahankannya selama di tahanan. Edith mengatakan, "Manusia yang hidup di kamp ini diperlakukan bagaikan binatang." namun "Aku menari seperti seakan-akan di pentas panggung seperti biasanya, tak mau berpikir bahwa aku berada di kamp tahanan." Sekali waktu ketika ketahuan bahwa ia membawa makanan secara sembunyi kepada kakaknya Magda, ia ditendang oleh penjaga sehingga kakinya patah dan tidak dapat menari lagi sejak saat itu.

Pada akhir perang, banyak tawanan mati, mayatnya bertumpuk bagaikan tumpukan rongsokan kayu. Pada 3 Mei 1945 ketika seorang serdadu Amerika melewati bangkai-bangkai mayat, ia memperhatikan ada sesuatu yang bergerak diantara mayat-mayat tersebut - itulah tubuh Edith berusia 17 tahun yang kurus kering. Ia dikeluarkan dari tumpukkan mayat, segera mendapat perawatan medis dan hidup kembali. Edith selamat dari maut lalu pindah ke Amerika dan melanjutkan pendidikan kedokteran dan menyelesaikan spesialisasi bagian psychiatry (dokter ahli jiwa). Suatu pengalaman yang luar biasa, bukan?

Namun, yang lebih luar biasa adalah sikapnya! Mengapa demikian? Mengutip kata-kata Edith ketika mengingat masa lampau yang gelap itu: "Aku tidak memiliki perasaan lagi alias... kosong/hampa; sebagian diriku seakan-akan membeku; keintiman pernikahanku terganggu; aku berada pada kemarahan kronis; setelah 30 tahun aku masih terbelenggu oleh kemarahan, aku masih menjadi tawanan masa lalu" Alangkah menyakitkan pengalaman hidup Edith!

Sekarang, situasi berubah - sesudah malam, fajar merekah - adalah sebuah lagu yang kita kenal sekaligus merupakan janji Allah telah terwujud bagi Edith yang telah mengalami kekelaman dan kegetiran hidup. Kisah gembira adalah 40 tahun kemudian Edith diminta menjadi pembicara kunci di Hitler’s bunker (gua perlindungan Hitler) di Jerman. Saat itu beliau kembali mengunjungi Konzentration Kamp dan mengakhiri emosi yang terpendam. Ia mengenang ketika ia dipaksa pergi ke antrian kiri, bagaimana ia tak mau pisah dari ibu, melihat kepulan asap yang membakar ibunya, ditendang sehingga tak mampu menari lagi, mengalami sendiri proses kematiannya diatas mayat-mayat, dll.

Di Kamp ini, Edith datang kembali dan menyelesaikan semua perasaan terluka, dan membuat satu keputusan pasti yaitu MENGAMPUNI karena ia ingin melanjutkan kehidupannya. Sekarang ia merdeka, bebas dari tahanan bagaikan seekor kupu-kupu yang lepas bebas . Penulis sungguh terharu membaca kata-kata mutiara, penuh nasihat bijak yang beliau sampaikan bagi semua orang, termasuk kita umat-umat Tuhan seperti berikut:
.
• "Aku menolak menjadi tawanan masa lalu"
• "Tidak masalah untuk marah terhadap apa yang terjadi di masa lampau, namun tidak baik kalau kita terbelenggu karenanya"
• "Kita menciptakan kamp konsentrasi kita sendiri"
• "Aku punya pilihan, menjadi korban atau pemenang"
• "Kamp konsentrasi berada di benak Anda sendiri, kuncinya berada di saku Anda"
• "Setelah terpenjara, datang kebebasan, setelah tragedi muncul kemenangan"

Bagaimana dengan kita? Apakah ingin bebas dari emosi merusak ini? Mengampuni orang memang tidak mudah, namun manfaatnya sungguh besar bagi kita. Pertama, dosa kita akan dihapuskan oleh Allah. Kedua, hidup kita tentram dan penuh sukacita yang terpantul melalui kesehatan mental dan fisik. Janji Allah pasti bahwa damai sejahtera sekaligus pengampunanNya diberi gratis bagi mereka yang mengampuni. Mustahil dilakukan? Tidak! Semua akan beres kalau kita berjalan bersama Allah. Jadikan Yesus sebagai model pengampunan kita. Ia telah membayar lunas semua dosa kita dengan darahNya sendiri. Ia mengampuni mereka yang memukul, meludahi, memaku, dan menyalibkanNya sambil berdoa: "Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Apakah rasa terluka Anda melebihi yang ditanggung Yesus? Mahapengampun itu terus mengajak kita untuk mengampuni. Ingatlah bahwa mengampuni orang lain berarti mengijinkan kasih Allah mengalir melalui diri Anda. Pilihan ada di tangan Anda!

LEYNE WAGIU
Evangelist Indonesia, bertempat tinggal di Balai Pengobatan Harapan Kita, Balai Karangan – Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.


Postingan Terkait



0 komentar: