“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu" Yohanes 15:16

Rabu, 28 September 2011

5 Tantangan Keluarga Kristen


Suatu kali para jari mengadakan pertemuan keluarga. Mereka makan malam bersama dan saling berbagi cerita mengenai tantangan yang secara nyata mereka alami sebagai anggota-anggota tubuh, di tengah zaman yang semakin ingin memecah belah mereka. Inilah hasil dari perbincangan mereka.


SI JEMPOL merasa tantangan terbesar bagi dirinya adalah PERSAINGAN. Menurutnya, di dunia metropolitan seperti Jakarta ini, besar sekali kemungkinan adanya persaingan. Jari jemari harus siap diperadukan satu dengan lainnya. siapa yang kuat, dia yang mendapat perlakuan secara khusus.
Bicara tentang si Jempol saja misalnya, ada banyak orang yang lebih memilih serta menantikan kehadirannya dibandingkan jari jemari lainnya. Sebab begitu si jempol berdiri, semua orang sudah paham bahwa ada pujian yang akan dikumandangkannya. Katanya, “Aku tidak mungkin mengacungkan jempol untuk semua orang. Hanya pada orang-orang tertentu saja aku mau berdiri dan menyatakan pujianku. Semakin aku jujur, semakin orang menghendaki kehadiranku.”
Apakah kita juga setuju dengan pendapat si jempol? Bahwa salah satu tantangan yang dihadapi seorang Kristen di zaman ini adalah persaingan? Sadar atau tidak kita ada di dalam dunia persaingan ini. Mulai dari anak-anak sampai orang dewasa, persaingan terus berlanjut dan membayang-bayangi hidup kita.
Di kalangan anak-anak kita saja misalnya persaingan mulai muncul saat mereka memperebutkan kasih sayang. Berapa banyak orangtua yang tidak siap menjadi orangtua bagi anak-anak mereka, sehingga mereka lebih suka berlaku manis pada anak-anak mereka yang juga memberikan respon positif. Untuk anak-anak yang manis, yang pandai, yang taat, seringkali orangtua memberikan perhatian lebih ketimbang pada anak-anak mereka yang memberontak, tidak taat dan sulit belajar mandiri. Anak-anak jadi terbiasa berlaku pura-pura demi memperebutkan perhatian orangtuanya.
Itu baru di dalam keluarga saat mereka berelasi dengan orangtuanya. Tetapi di kalangan dunia anak sendiri, jangankan anak-anak yang sudah menginjak akil balik, di usia anak saya pun (sekitar 2 tahunan) sudah terjadi persaingan. Persaingan terjadi karena masalah yang sangat sepele kelihatannya, yaitu masalah bola plastik. Saat persediaan bola plastik hanya satu, bola itu jadi diperebutkan. Siapa yang mendapat bola itu? Rupanya yang kuatlah yang bisa memegang dan menguasai bola itu. Mereka yang ditendang, tidak bisa melawan atau membalas, harus menerima kekalahan yang tidak adil itu dengan terpaksa.

Di kalangan para siswa persaingan juga muncul. Bukan hanya di sekolah saat mereka bersaing nilai, tetapi juga saat mereka bersaing teman favorite, pacar, bahkan juga saat sebuah tim sedang memilih anggota terbaik mereka untuk sebuah kompetisi olah raga.
Persaingan berlanjut di dunia bisnis, di kantor, di jalanan, di toko, termasuk di dunia hiburan. Untuk mengambil tempat duduk di restaurant favorite pun kita bersaing waktu dengan pengunjung lainnya. mata kita harus sigap mencari tempat duduk yang kosong, jika restaurant yang kita tuju tidak memiliki stand pendaftaran customer mereka.
Ternyata memang benar, persaingan muncul tidak memandang bulu dan kelas. Di manapun, kapan pun selalu ada persaingan. Entah anak-anak kita pandai atau biasa-biasa saja, entah kita sedang berekreasi maupun bekerja, persaingan bisa terjadi.
Pertanyaannya, apa buruknya dari sebuah persaingan? Persaingan yang sehat tentu membawa hasil yang baik. Tetapi sebaliknya jika persaingan itu didominasi oleh ambisi dan ketinggian hati, maka persaingan akan membawa seseorang pada tindakan kejam, sarkastis dan akhirnya menimbulkan banyak korban. Padahal peneladanan Kristus berbeda sama sekali dengan hal tersebut. Apa perbedaan teladan Kristus dengan maraknya persaingan yang ada di zaman ini?
Persaingan melegalkan kita mengorbankan orang lain, sedangkan kehadiran Kristus mengajar kita untuk berkorban demi orang lain. Persaingan menebalkan kepekaan sosial kita, sedangkan kehadiran Kristus membuat kita semakin peka akan kebutuhan sesama. Persaingan membawa kita pada pementingan diri dengan kekuatan dan kelebihan kita, sedangkan kehadiran Kristus mementingkan mereka yang lemah dengan bantuan kekuatan serta kelebihan yang Tuhan beri pada kita.
Apakah kita dan anggota keluarga kita bersaing secara positif? Yesus juga mengajarkan kita untuk bersaing, bersaing dalam perlombaan iman. Bersaing dalam memenangkan kasih yang sejati, serta persaingan dalam menciptakan perdamaian (Rom 12:18).

Kini giliran SI TELUNJUK unjuk bicara. Menurutnya, tantangan terberatnya zaman ini adalah HARGA DIRI. Si Telunjuk berkata, “Aku merasa, seringkali jariku disalahgunakan orang lain. Saat mereka menggunakanku untuk mempertahankan harga diri mereka. Mereka menunjuk seseorang untuk melempar tanggung jawab, menunjuk yang lemah untuk mempermalukan mereka, bahkan menunjuk diri sendiri saat pujian disampaikan.”
Dan ironisnya, si telunjuk seringkali menjadi alasan bagi perpecahan yang terjadi dalam keluarga. Sepasang suami istri memutuskan untuk pisah kamar saat tidur malam, hanya karena merasa tidak dihargai oleh pasangannya. Seorang anak bisa meninggalkan rumah karena merasa tidak dihargai oleh orangtuanya. Bahkan seorang pekerja segera meninggalkan rumah tempat mereka bekerja karena merasa harga dirinya diabaikan oleh sang tuan rumah.
Sempat seorang ayah berkata pada anaknya, “Kita boleh tidak punya uang, tapi jangan sampai kita kehilangan harga diri.” Rupanya harga diri begitu penting dan tinggi nilainya. Dunia ini bisa menunjukkan perbedaan status sosial, pendidikan, ekonomi, budaya dan peradaban secara mencolok, tetapi perbedaan itu tidak dapat menyembunyikan yang disebut dengan Harga Diri.
Akibat dari memprioritaskan harga diri, seseorang sampai hati mengorbankan uangnya, miliknya bahkan tenaganya. Sayangnya, dunia ini pun menghargai seseorang dengan hal-hal lahiriah. Rupanya, materi ikut berbicara, memberi andil bagi keputusan berharga atau tidaknya seseorang. Coba kita ingat-ingat, apa yang membuat seorang penjaga toko menghargai kita? Pakaian kita, penampilan kita, termasuk kartu kredit kita. Lalu, pelayanan apa yang juga bergantung pada materi atau uang yang kita miliki? Kelas dalam pesawat terbang, saat kita bermalam di rumah sakit, atau saat kita berbelanja. Semoga dan jangan sampai itu terjadi juga di gereja atau rumah kita.
Inilah tantangan keluarga Kristen di zaman ini, di mana keutuhan keluarga perlu diupayakan melalui sikap saling menghargai dan bukan karena masing-masing anggota keluarga menonjolkan harga dirinya masing-masing. Saya pernah mengatakan pada beberapa anak muda, mari kita turunkan harga diri kita demi mempertahankan relasi. Apa maksudnya? Relasi kita dengan Tuhan dan relasi kita dengan anggota keluarga sangatlah penting. Tuhan mengharapkan agar sesama anggota keluarga saling menolong dan melengkapi satu dengan lainnya. Istilah menolong mengandung makna kesediaan untuk merendahkan hati, turun menyodorkan tangan bagi mereka yang lemah.
Yang lemah diangkat oleh yang kuat. Itu berarti ada upaya turun ke bawah seperti Yesus yang kuat dan berkuasa turun menjadi seorang manusia dan mengambil rupa seorang budak/hamba. Ia menjadi sama seperti kita yang penuh dengan kelemahan. Inilah teladan kerendahan hati demi mengangkat keberhargaan seseorang. Kita yang lemah dan berdosa, diangkatNya menjadi anakNya, menjadi serupa seperti Kristus. Pengangkatan harga diri kita yang dilakukan oleh Kristus inilah yang membuat Sang Bapa sedia menerima kita.
Kalau Allah di Sorga saja mau menerima kita yang lemah, tidakkah kita meneladani Kristus yang telah mengangkat kita? Ingat, tantangan keluarga zaman ini adalah mengajak anggota keluarga mempertahankan relasi, bukan harga diri. Justru dengan saling menghargai, termasuk menghargai yang lemah, hidup kita jadi berharga. Bisa jadi bukan di mata manusia, tetapi berharga di mata Dia, Allah yang telah merendahkan diriNya buat kita.

Kini giliran Si JARI TENGAH unjuk gigi. Ia menekankan EGOISME sebagai tantangan terberat zaman ini. Si Jari Tengah berkata, “Coba semua jari berdiri. Siapa yang tertinggi dan ada di pusat dari semua? Tentulah aku.” Dengan rendah hati lalu dia melanjutkan pendapatnya, “Karena itulah aku takut, takut aku menjadi sombong dan takabur. Aku yang sengaja diciptakan paling tinggi di antara kalian dan aku yang diletakkan Tuhan di tengah-tengah dari semua anggota keluarga jari jemari, aku takut aku menjadi sombong. Sempat terlintas dalam pikiranku bahwa Allah sengaja melakukan itu karena memang akulah yang terbaik dan untuk itu patutlah aku dilindungi, diperhatikan, diistimewakan.”
Saya teringat motto dari sebuah film yang menceritakan pengalaman hidup para penjaga pantai. Mereka setuju bahwa hidup mereka dipersembahkan agar orang-orang yang seharusnya mati di lautan bebas karena kecelakaan, memiliki kesempatan kedua untuk hidup kembali dengan pertolongan mereka. “…so the others may live.”
Apakah prinsip itu tersirat dalam benak kita sebagai anggota keluarga? Sebagai anggota masyarakat? Atau sebagai seorang yang dipakai dalam dunia kerja dan pelayanan kita?
Seorang ibu berkata pada temannya, “Kalau saya tidak berguna di tempat ini, masih banyak orang memerlukan saya.” Apa pesan dari kalimat ini? Seseorang perlu diakui keberadaannya, seseorang ingin menjadi penting dan berharga. Kali ini Si Jari Tengah setuju dengan telunjuk. Apa yang membuat seseorang memaki-maki orang lain? Apa yang membuat seseorang mengundurkan diri dari sebuah kegiatan? Apa yang membuat seseorang mengacuhkan orang lain? kadangkala bukan hanya karena ia tidak mendapati penghargaan terhadap dirinya, tetapi juga karena egoisme diri.
Hati-hati, jangan-jangan egoisme juga telah menelusup dalam keluarga kita. Kita bekerja bukan karena merupakan kebutuhan, tetapi karena kita hobi bekerja dan mengejar sesuatu yang menjadi ambisi pribadi kita. Ironisnya, kita bekerja karena ingin melarikan diri dari keadaan keluarga.
Apa akibat dari egoisme? Menurut Mangunhardjana, membuat seseorang kehilangan penghargaan terhadap orang lain. Egoisme membuat orang lain sebagai alat atau objek untuk memenuhi kepentingan pribadi. Egoisme membuat seseorang tidak peka atau buta terhadap kebutuhan orang lain.
Apakah kita telah menjadikan anak-anak atau pasangan kita sebagai objek? Apakah kita mencium, bermain dan membelikan mainan buat anak-anak hanya untuk kepentingan kita? Atau kita sedang belajar peka terhadap kebutuhan mereka? Tantangan egoisme zaman ini mengajak kita merefleksi ulang, apakah kita telah menjadi seorang anggota keluarga yang memperhatikan kebutuhan anggota keluarga yang lain? Jangan sampai kita buta, sebab di situlah keluarga kita sedang terancam keruntuhan dan kerusakan.

Lain halnya dengan SI JARI MANIS, menurutnya justru KESETIAAN PADA TUHAN merupakan tantangan terpopuler masa kini.
Kisah-kisah penyangkalan terhadap kesetiaan marak terdengar bukan hanya di masyarakat pada umumnya dalam dunia bisnis, politik maupun pendidikan. Namun ketidaksetiaan juga merebak di dalam keluarga-keluarga Kristen. ketidaksetiaan pada sesama itu dimulai dari ketidaksetiaan kita untuk mendengar dan melakukan firman Tuhan.
Ketidaksetiaan menjalani apa yang Tuhan kehendaki membuat kita semakin tidak peka akan tugas yang Tuhan berikan pada kita sebagai utusanNya. Hanya dimulai dari hal-hal yang sangat sepele. SMS (Short Message System) telah mencoba menggoda setiap orang untuk melunturkan kesetiaannya. Kata-kata manis yang membuat seseorang tersenyum sendirian, perhatian yang hanya singkat tetapi penuh makna, “Sudah makan belum?” menghancurkan dinding pemisah antar yang sudah terikat dengan para penggodanya.
Tidak heran anak-anak juga belajar untuk tidak setia. Mulai dari fleksibilitas orangtua dalam mengantar anak-anak mereka ke Sekolah Minggu atau Kebaktian Remaja. Ada yang menunjukkannya dengan cara terlambat datang, atau malah sekalian tidak hadir. Dilanjutkan dengan ketidaksetiaan menjadi pelaku firman.
Mari kita refleksikan ulang, apa yang sudah dengan setia kita jalani? Membaca firman Tuhan dengan setia? Sudahkah kita dengan setia berterimakasih pada Dia yang telah memberkati kita? Atau sudahkah kita dengan setia mengajarkan cinta Tuhan pada anak kita secara berulang-ulang?
Seorang pria menyarankan pada temannya untuk menyimpan cincin nikahnya jika ia bepergian. Bukan karena takut hilang atau diambil orang, tetapi supaya banyak orang tahu bahwa dia tidak terikat. Berbagai cara dapat juga kita lakukan untuk menunjukkan ketidaksetiaan. Dan sayangnya itu diperkuat dengan kepandaian kita membela diri.
Ironisnya, justru orang-orang yang tidak setia seringkali mendapatkan banyak keuntungan dari ketidaksetiaannya itu. Sebut saja orang-orang yang seringkali pindah pekerjaan. Atau orang-orang yang ditawari gaji tinggi oleh perusahaan kompetitor. Namun ada pertanyaan yang mudah-mudahan dapat sedikit memperbaiki kita, yaitu: janji setia apa yang sekarang hendak kita ucapkan di hadapan Tuhan dan keluarga kita? Penuhilah janji itu di masa mendatang dan ajaklah anggota keluarga kita juga belajar memegang janji setia mereka pada Tuhan dan pada keluarga.

SI KELINGKING kini berucap, mengakhiri diskusi dan makan malam keluarga jari jemari. Menurut SI KELINGKING tantangan yang tidak kalah pentingnya untuk diwaspadai adalah PERHATIAN TERHADAP YANG TERKECIL. Si kelingking memang jarang dibicarakan. Ia begitu kecil dan kurang kuat untuk mengangkat sebuah kantong plastik belanjaan sekalipun belanjaan itu ringan. Namun itulah justru tantangan mereka sebagai anggota keluarga.
Seorang murid bertanya pada gurunya, “Manakah yang harus kami selamatkan jika kami harus menyelamatkan banyak orang di ambang kematian mereka, dengan adanya keterbatasan kami?” Lalu jawab guru itu, belalah mereka yang paling lemah dan paling membutuhkan pertolongan.
Guru itu rupanya memiliki prinsip Kristiani. Untuk itulah Yesus datang ke dunia dan untuk itulah Dia mengutus kita. Agar yang lemah menjadi kuat, yang kecil diperhatikan, yang miskin berkata kukaya. Dia datang melalui kita, untuk menguatkan orang lain, memperhatikan orang lain, menghibur yang berduka. Siapa yang paling kecil dalam keluarga kita? Perhatikanlah dia dan ajaklah dia memperhatikan mereka yang juga kecil dan membutuhkan perhatian.

Inilah hasil kesimpulan bincang-bincang para jari. Terakhir, sebelum mereka menutup pertemuan itu, “Ada satu yang kurang kata mereka, coba kita bersama-sama menundukkan tubuh kita. ada sebuah simbol yang dapat disalahartikan. Kepalan seluruh jari dapat berarti sebuah pembalasan. Tetapi kepalan semua jari dapat juga berarti semangat bersama untuk mewujudkan hal baik. Itulah tantangan keluarga kita,” menurut para jari.

Lalu apa solusi dari semua tantangan itu? Sekarang mereka mulai membuka mata keluar dari kumpulan keluarga kecil mereka. “Lihat, ternyata masih ada keluarga lain di sebelah kita. Mereka sama-sama jari tangan. Ada jempol, telunjuk, jari tengah, jari manis dan kelingking.”
“O, itu bukan keluarga kita,” sahut si jempol.
“E… e… e… baru saja kita bicarakan bagaimana sulitnya melepaskan egoisme, harga diri dan persaingan,” tiba-tiba dengan berani di jari tengah menyanggah.
“Maaf, saya terbawa emosi. Apakah berarti kita harus menyatukan kedua keluarga besar ini?” tanya si Jempol.
“Benar!” jawab Si Telunjuk.
“Kita satukan keluarga kita dengan mereka sambil berpelukan. Sebab saat kita berpelukan, kita semakin erat. Kita bahkan dapat membisikkan kata-kata doa yang kita perlukan agar kita diberi kesanggupan menghadapi tantangan zaman yang berat ini,” lanjut Si Telunjuk dengan semangat.
“Kalau begitu, tunggu apa lagi? Sekaranglah waktunya. Mari kita berpelukan! Maksudnya… berdoa!” jawab jempol sambil berlari memeluk jari jemari lain di seberang mereka.
“Oh Tuhan terima kasih, akhirnya keluarga besar itu menyatu mencari Engkaulah sebagai satu-satunya sumber kuat mereka menghadapi tantangan zaman ini. Ingatkan mereka terus, ya Tuhan!”

Riani Josaphine Suhardja

(sumber: http://gkipi.org)

Postingan Terkait



0 komentar: