Oom Peter yakin kalau kesembuhan tumor payudara istrinya berkat doa. Nyonya Cyn. juga percaya tumor myoma di rahimnya semakin hari semakin mengecil setelah lama berdoa. Sebagai orang percaya seberapakah ilmiah suatu kesembuhan penyakit dimaknai (hanya) sebagai buah dari doa? Cuma pihak medis yang tahu kalau banyak jenis penyakit pada manusia kendati tidak diberi obat akan sembuh sendiri (self limiting diseases). Kesembuhan ini tak pilih bulu hanya terjadi pada orang beriman saja. Yang tak beriman pun tak dilarang sembuh. Selain itu ada pula penyakit yang walau sudah dengan segala daya upaya diobati, namun tak sembuh juga lantaran keterbatasan medis. Di mata awam, dua-duanya dikira sama-sama menyimpan misteri, padahal sejatinya tidak.
Sebagian besar masyarakat kita masih mewarisi pandangan magiko-religius dalam banyak fase hidupnya. Itu sebab banyak peristiwa, dan fenomena keseharian yang serta-merta lazim ditafsirkan sebagai hal yang magis dan dianggap perlu harus diatasi dengan upaya magis. Sebagian lagi ditempuh dengan kegiatan ritual. Dan hal-hal seperti itu, dalam serba ketidaktahuan (ignorancy) masih tetap ditatap dengan keniscayaan penuh.
Seperti dapat dibaca ada beberapa bagian dalam Alkitab, sampai sekarang masih juga banyak masyarakat prural yang melihat beberapa jenis penyakit dianggap kerasukan roh jahat. Sebut saja ayan, amok (istilah psikiatrik untuk serangan mengamuk), status trance, bahkan sekadar demam tifus (typhoid abdominalias) yang oleh karena pasien meracau (mungkin menyebut-nyebut nama Embah, atau Eyang yang sudah meninggal), tak jarang dianggap penyakit kerasukan setan.
Secara medis pasien dengan delirium (kesadarannya kacau) bagian dari gejala tifus. Orang skizofren juga bisa sama meracau juga, dan mestinya tak mungkin diobati dengan jampi atau doa. Oleh karena pasien tifus dibawa berobat ke orang pintar, diberi jampi dan mantera, (Mudah-mudahan tidak ada yang dibawa ke pendeta) dan demamnya tak juga kunjung reda, sehingga bukan jarang akhirnya pasien meninggal akibat komplikasi sebab terlambat dibawa ke dokter, atau ke rumah sakit. Pikiran ini tetap tidak bermaksud menafikan kehadiran penyakit sebab kerasukan roh jahat.
Dulu orang takut mengucapkan penyakit cacar, kalau-kalau setan yang merasukinya akan marah, sebab serangan cacar dianggap kesenggol setan dapur. Pernahkan Anda mendengar anak yang lagi kena cacar dimandikan dengan air bekas pencuci wajan, sodet, dan peralatan dapur sebagai penawar cacarnya? Zaman saya kecil dulu masih berkembang anggapan yang seperti itu.
Bukan pula sedikit kita dengar takhayul yang di penglihatan ilmu kedokteran dianggap membodohkan. Jangan makan pisang dempet kalau tak sudi melahirkan anak kembar. Anak kecil jangan diberi brutu ayam, kalau makan ceker ayam tulisan jadi jelek, dan banyak lagi yang sampai sekarang mungkin masih dianut para Oma dan Opa, yang sebetulnya tak ada korelasi keilmiahannya sama sekali. Tak heran kalau Oma si Maudy, misalnya, masih saja bilang sama tetangganya, jangan bikin kue selagi mens, nanti kuenya bantat nggak jadi.
Di kalangan medis, logika medis lebih bekerja ketimbang penjelasan lain yang lebih abstrak, lebih transendens, yang bisa jadi melampaui akal sehat. Serangan demam lima hari (dengue fever) diobati atau tidak diobati, disertai doa atau tidak didoakan, umumnya akan sembuh sendiri juga. Di mata orang medis, mendoakan pasien demam lima hari dianggap mubazir, dan disangka mendiskreditkan makna doa dengan anggapan Tuhan sepertinya memang harus mengurusi soal-soal yang remeh temeh begini.
Namun bagi orang percaya, mungkin ditabukan atau barangkali dianggap kurang ajar kalau sampai berani megungkapkan pikiran bahwa tidak untuk setiap kesembuhan tangan Tuhan selalu ikut bekerja.
Orang bertanya lalu apa penjelasannya orang tak beriman yang berhasil sembuh dari sekian banyak penyakit, bahkan bukan tak ada yang bisa juga sembuh dari penyakit yang sudah tak bisa diobati dokter. Mungkin tak pernah mereka minta dalam doa untuk sembuh, tapi nyatanya bisa sembuh. Buat orang percaya haruskah ini hanya dianggap ada kuasa (jahat) lain di sana?
Buat semua orang percaya, dianggap apa salahnya berdoa dan minta didoakan setiap kali apa pun sakitnya. Tak ada ruginya, tak ada komplikasi atau efek samping apa pun kalau kelebihan berdoa atau didoakan, seperti menjadi berbahaya kalau kebanyakan minum obat. Kebanyakan doa barangkali malah dianggap memberi lebih banyak berkat.
Namun di mata orang yang memiliki pengetahuan medis, boleh jadi dianggap untuk penyakit yang manusia bisa atasi sendiri, termasuk penyakit yang diobati atau tidak diobati akan menyembuh sendiri, berdoa dan didoakan, upaya religi yang kelihatan jadi murahan.
Boleh jadi juga ada sangkalan, apa salahnya kalau sedikit-sedikit kita masih sudi berdoa. Sementara yang berpikiran agar doa tidak menjadi murahan tidak ingin mengartikan perlu menyangsikan keniscayaan siapa pun, betapa cerewet pun orang dalam berdoa atau minta didoakan. Barangkali dianggap takabur kalau orang percaya tidak cerewet berdoa, bahkan berdoa sekadar memohon agar Tuhan sudi eksim atau bisul kita lekas sembuh, juga dianggap sah-sah saja.
Sama seperti kasus tifus yang tidak bisa disembuhkan dengan jampi, belum ada penjelasan medis bagaimana tanpa obat, kekuatan doa bisa menyembuhkan bisul atau eksim juga. Tanpa bermaksud menafikan betapa besar kuasa Allah dan kuasa doa yang kita panjatkan, apa pun tak ada yang mustahil di mata Allah.
Banyak saudara kita yang kalau sakit tak mau dijamah dokter, dan hanya mengandalkan doa. Bentuk keniscayaan yang tak patut kita recoki. Betapa repotnya Tuhan, seperti bingungnya Tuhan kalau dua kesebelasan sama-sama berdoa kepingin memenangkan pertandingan, kepada siapa Tuhan harus mengabulkan doa supaya keduanya merasa diperlakukan adil di mata Tuhan. Yang lagi pacaran berharap malam Minggu tidak hujan, lalu berdoa agar hujan tidak sampai turun. Sedang tukang bandrek, sekoteng, dan bajigur berdoa juga agar di malam Minggu itu hujan turun supaya dagangannya laris. Pikir kita kepada doa yang mana Tuhan akan mengabulkan? Atau dalam urusan seremeh begini Tuhan tidak perlu ikut campur, seperti juga tidak perlu sibuk mengurusi bisul atau eksimnya Tante Mer.
Yang berpikir sekuler mungkin masih akan bertanya bukankah Tuhan akan kewalahan kalau untuk hal-ihwal yang sebetulnya bisa manusia tanggulangi sendiri, mengapa semua umat merasa perlu merepotkan Tuhan dengan menjadi begitu cerewet berdoa? Kita juga melihat doa-doa kesembuhan bagi pasien yang lazimnya cenderung memohon agar umur pasien bisa terus mengulur lebih panjang. Tapi dibalik itu semua, bukankah berarti dengan doa itu kita sedang menafikan kemungkinan rencana lain Tuhan untuk si pasien. Mana tahu kita andai rencana Tuhan untuk si pasien ternyata hidupnya cukup berhenti sampai di situ saja.
Analog dengan itu, kita membaca dalam pikiran umat Islam seperti yang mengatakan bahwa kematian ratusan korban terinjak-injak di Mina yang lalu sebagai takdir. Pada saat yang sama ada juga pandangan, kalau tidak sampai ada korban Mina pun sebetulnya sebuah takdir juga. Pikir kita, sebab tentu ada beda risiko kematian (yang terukur) antara orang yang menyetir mobil dengan mengebut, dengan yang tidak mengebut. Secara statistik angka kematian kasus orang yang mengebut (upayanya kurang maksimal untuk selamat) pasti lebih banyak dibanding kematian orang yang tidak ngebut (Upayanya supaya bisa selamat dalam berkendara dikerjakan dengan maksimal). Membaca fakta itu apakah kita masih boleh berkutat meniscayai mentah-mentah makna “Bukankah soal hidup dan mati itu ada di tangan Tuhan?” Bahwa orang sedang duduk ongkang-ongkang di rumah pun bisa mati?
Kaidah kematian di tangan Tuhan memang harus diletakkan pada seberapa besar manusia sudah berupaya (menjadi maksimalis, dan bukan minimalis penganut determinisme takdir), oleh karena sama niscayanya melihat masih menganganya misteri di balik kasus kematian oleh bunuh diri (seakan kuasa kematian sepenuhnya ada di tangan manusia sebab manusia sendiri bisa menentukan detik kapan saja ia bisa dan akan mati), melihat kasus orang tidak beriman banyak yang panjang umur, tidak sakit; kasus orang sering berdoa tetap miskin, tapi yang tidak religius justru kaya raya; kasus yang murtad hidupnya sejahtera sentosa, fakta-fakta sekuler seperti itu agaknya sedang menumbuhkan suatu keniscayaan lain.
Dulu waktu saya kecil sering mendengar ramalan seseorang bakal dikaruniai anak berapa, berapa anak laki-laki dan berapa anak perempuan, percaya seakan Tuhan ikut campur untuk urusan manusia (ditakdirkan) punya anak berapa. Yang tak punya anak diniscayai sudah takdirnya begitu.
Tapi setelah sekolah dokter semakin jauh kemampuan saya meniscayai hal-hal yang sesederhana itu, oleh karena tidak dilarang manusia memanipulasi dengan iptek medis terserah mau punya anak berapa, dan bagaimana yang mandul yang dulu disangka takdir, kini bisa bernasib dikaruniai anak. Apa kalau saluran telur yang mampet oleh infeksi sebagai penyebab kasus kemandulan terdiagnosis bisa diubah nasibnya menjadi tidak mandul, lalu hamil, dan punya anak setelah mampetnya dikoreksi oleh medis, harus diniscayai berkat kuasa Tuhan juga, meyakini tidak ada usaha manusia tanpa restu Tuhan.
Kasus ini tak terkecuali boleh terjadi pada wanita atheis juga, mereka yang tak pernah berdoa. Bagaimana keniscayaan kita ketika sekarang bukan cuma Tuhan yang bisa menciptakan manusia, lewat teknologi kloning. Secara rekayasa genetik setelah foto gen berhasil dibuat, bukan hal mustahil manusia ciptaan tangan manusia jauh lebih sempurna (dengan meniadakan gen-gen buruk dan lemah, sehingga bisa tercipta manusia tanpa cacat tanpa satu pun penyakit setelah gen jeleknya disiangi dengan pisau kimiawi, dan sekarang sudah bisa dikerjakan).
Jadi saya kira bukan pada doa itu yang mungkin orang pikir keliru, bukan pula pada Kemahakuasaan Tuhan itu, tidak juga pada berapa tinggi sekolah iman kita, bukan juga pada keniscayaan terhadap firman itu, melainkan seberapa lurus arah sikap religi kita sehingga akibat ulah kita menjadikan doa kita tidak inflasi, tidak menjadi terdiskreditkan, salah meminta, salah alamat dan salah cara berdoanya pula (yang biasanya kebanyakan mintanya tanpa menghiraukan apa rencana Tuhan pada hidup kita).
Sama ihwalnya dengan keniscayaan orang beriman terhadap mukjizat, bisul atau eksim yang sembuh sendiri, rasanya kelewat menyederhanakan kuasa Allah kalau kita menganggapnya itu sebagai sebuah mukjizat. Bahwa sesuatu kita niscayai sebagai mukjizat bila sesuatu itu terjadi di luar kuasa manusia (yang sudah secara maksimal diupayakan). Tidak semua tumor payudara bersifat ganas, dan sebagian bisa sembuh dengan obat, dan kista payudara juga bisa mengempis. Kita tahu tumor jinak myoma rahim bisa mengempis sendiri setelah usia menopause. Di penglihatan medis, hal-hal itu yang terjadi pada istri Om Peter, dan Nyonya Cyn. di atas.
Maka agaknya kelewat berlebihan bila segala sesuatu terjadi pada tubuh kita yang bisa diterangkan dengan penjelasan medis, atau keilmuan lain, masih kita niscayai sebagai berkat kuasa doa, atau sebagai sebuah mukjizat. Dari studi di Lourdes juga ada fenomena seperti itu. Tidak semua yang orang alami laik dinilai sebagai mukjizat. Secara kejiwaan faktor sugesti amat besar. Air putih yang diberikan oleh seorang profesor medis beda kekuatan sugestifnya dibanding yang hanya diberikan teman atau anak kandung (Placebo Effects). Demikian pula kesembuhan oleh orang pintar. Keris, ajimat, batu bertuah, dan barang-barang keramat cumalah sebuah medium yang mengangkat rasa sugestif pasien. Secara ilmiah dari dulu diyakini kalau kekuatan sugestif menyimpan kekuatan menyembuhkan juga.
Baru belakangan ada bukti ilmiah, sebagaimana halnya orang yang berpikir positif (optimistik) memberi daya ungkit yang besar terhadap sistem kekebalan tubuh. Orang bisa terbantu sembuh dari banyak penyakit, sekurang-kurangnya menjadi tidak lekas bertambah buruk, oleh kekuatan berpikir positif, termasuk oleh doa (yang tergolong jenis berpikir positif juga) kalau doa boleh dipandang sebagai unsur non-illahi juga.
Dalam sugesti yang kuat dayatahan tubuh meningkat sudah banyak studi menemukannya. Maka sekarang penyembuhan doa, penyembuhan dengan berpikir positif, ektrimnya dikiblatkan orang seakan seolah-olah sedang menafikan kuasa Tuhan. Pasien kanker yang bersedih, yang bersikap pesimistis terhadap penyakitnya, yang depresi, tidak lebih baik prognosisnya dibanding yang optimistik, yang berpikir positif dan yakin penyakitnya akan sembuh, dan bagi orang percaya, bertambah lagi sugestinya kalau dibarengi dengan berdoa dan didoakan.
Apa yang ingin diungkap oleh tulisan ini, bahwa berdoa saya kira tetap sesuatu yang harus diniscayai setiap orang percaya. Bahwa mukjizat juga harus menjadi sebuah keniscayaan lain. Namun kuasa doa dan kuasa doa bisa berarti dua. Demikian pula makna mukjizat dan mukjizat bisa tidak sama dan sebangun di mata setiap orang. Tergantung seberapa tajam pisau iman kita membedah segala sesuatu peristiwa, fenomena alam, fenomena illahi, hal-hal transendens, secara alkitabiah, sebagai sesuatu yang Tuhan maksudkan dan kita benar memahaminya, tanpa boleh salah tafsir menyederhanakannya (kebenaran manusiawi vs kebenaran illahi), atau coba melirik pada kuasa (jahat) yang lain.
Ada saat memang kita harus berdoa. Ada saat lain tidak perlu mengandalkan doa. Bersikap royal berdoa sah-sah saja, asal di mata Tuhan nilai tukar doa tidak menjadi inflasi, atau terdiskreditkan saking cerewetnya kita berdoa, saya kira.
Dr. Handrawan Nadesul
(sumber: http://gkipi.org)
0 komentar:
Posting Komentar