Orang cenderung ingin menyingkirkan ingatan akan kematian jauh-jauh dari benaknya, meskipun ia sadar bahwa kematian merupakan kenyataan yang mau tak mau akan dihadapinya. Persiapan untuk berpulang dengan damai merupakan kajian yang mendapat perhatian besar di Barat, karena masalah-masalah baru di dalam bidang etika dan moral timbul dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi kedokteran dewasa ini.
Dalam rangka inilah Suster Christophora S. CB, MS, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan St. Carolus mengikuti program Erasmus Mundos untuk mempelajari Etika Kehidupan (Bioethics) ditinjau dalam perspektif Eropa di beberapa universitas di Eropa antara September 2006 sampai Maret 2007.
Di Eropa, banyak pihak–dokter, perawat, psikolog, pelayanan pastoral–terlibat dalam mempersiapkan seorang penderita yang sakit parah (terminal illness) untuk pergi dengan damai memasuki masa kekekalan. Persiapan menjelang ajal yang disebut palliative care tersebut berusaha meringankan penderita di dalam menanggung rasa sakitnya.
Ada seorang pria yang menderita kelumpuhan total dengan rasa sakit yang tak tertahankan, sehingga meminta kepada dokter untuk mengakhiri hidupnya. Tidak seperti di Indonesia di mana sebagian besar penderita dirawat sendiri di rumah oleh anggota keluarga atau perawat, setiap warga negara di Belanda dan negara-negara Eropa lainnya memiliki asuransi kesehatan sehingga dapat menerima perawatan di rumah sakit atau di panti jompo.
Di dalam kasus ini, si pria dimasukkan ke dalam panti jompo dengan perawatan khusus, sebab istrinya terlalu lelah untuk merawatnya sendiri di rumah. Permohonan pria tersebut untuk mengakhiri hidupnya (euthanasia) tentu saja tidak dapat dikabulkan begitu saja, tetapi harus melalui proses panjang dan kajian yang mendalam. Ia bahkan harus mengungkapkan permohonannya sampai dua kali, sebelum akhirnya dokter keluarga dan saksi-saksi dipanggil untuk mendengarkan kesungguhan hatinya.
Dokter kemudian mengadakan rapat-rapat dengan berbagai pihak di bidang hukum, medis dan agama untuk meminta pendapat mereka, dan berdasarkan keputusan rapat lalu meneruskan permohonan ini kepada walikota setempat. Barulah setelah izin diperoleh, dokter membeli suntikan obat tidur untuk membebaskan penderitaan pria itu (physician assisted suicide) tepat pada hari kelahirannya, sesuai dengan permintaan terakhirnya.
Meskipun sebelum kematiannya si sakit menerima pelayanan pastoral, gereja–yang tidak menyetujui euthanasia ini–tidak mengurus pemakamannya di rumah duka, sehingga tak ada upacara gerejawi yang dilakukan di sana.
Banyak masalah moral yang sulit dan tidak mudah dipecahkan di dalam bidang etika kehidupan. Seorang ayah yang menderita gagal ginjal mencari donor yang cocok untuk dapat sehat kembali. Ia mempunyai dua anak laki-laki, dan salah seorang di antara mereka memiliki ginjal yang cocok dengannya. Apakah ia akan meminta anaknya untuk mendonorkan ginjal itu kepadanya? Bolehkah anak itu menolaknya?
Derek, seorang pemuda Amerika berusia 19 tahun dari keluarga kaya-raya, suatu hari sedang mengisi bensin di pompa bensin ketika seseorang memasukkan sesuatu ke dalamnya sehingga menyebabkan Derek terbakar hebat bersama dengan mobilnya. Orangtuanya berusaha dengan segala daya upaya untuk merawatnya selama 7 tahun. Jiwa Derek diselamatkan dan ia bahkan dapat menikah dan menjadi pengacara. Tetapi Derek lalu mengajukan tuntutan kepada orangtuanya atas trauma berat yang dialaminya selama tahun-tahun panjang antara hidup dan mati itu. Ia berdalih bahwa sebenarnya ia dulu lebih baik dibiarkan mati saja daripada hidup seperti ini. Apakah orangtuanya salah?
Dilema tentang etika kehidupan terus berkembang seiring dengan kemajuan di segala bidang. Penelitian mutakhir di bidang genetika menyebabkan orang dapat memeriksa sejak dini apakah seorang anak perempuan kelak berisiko mengidap kanker payudara (BRCA 1) atau kanker rahim (BRCA 2). Bilamana risiko itu tinggi, apakah sebaiknya alat-alat reproduksi gadis kecil itu diangkat untuk mencegahnya terkena kanker atau lebih baik membiarkannya saja dengan kemungkinan kanker tersebut?
Jenazah pun tidak boleh diformalin di Eropa, kecuali bagi keturunan raja. Hal ini disebabkan karena di dalam peraturan Asuransi Kesehatan Nasional, organ-organ tubuh dapat didonorkan setelah seseorang meninggal dunia. Begitu seseorang dinyatakan meninggal berdasarkan kematian klinis otaknya, para dokter siap di meja operasi untuk memindahkan organ-organnya yang sehat kepada penderita-penderita yang sudah menunggu kesempatan tersebut.
Hal ini begitu nyata terlihat pada kasus seorang pemuda Belanda berusia 21 tahun yang sudah menikah dan berputra satu, yang mengikuti perlombaan sepeda Tour de France di Prancis. Sepedanya masuk ke jurang dan lehernya patah. Ketika istrinya ditelpon di Spanyol, si istri pingsan berkali-kali, sehingga akhirnya ibu dan mertuanyalah yang dipanggil ke rumah sakit.
Di sana mereka menghadapi dilema yang sulit, apakah pemuda itu akan dioperasi otaknya meskipun harapan hidup nyaris tak ada, atau membiarkannya berpulang dengan tenang. Saat-saat menandatangani keputusan itu merupakan pergumulan batin yang paling berat bagi mereka, namun akhirnya pemuda ini direlakan untuk menghadap kepada Penciptanya, dan organ-organ tubuhnya didonorkan kepada orang lain.
Suster Christophora, yang harus membuat presentasi di dalam pendidikan ini, menceritakan kasus seorang ibu berumur 57 tahun yang pada tahun 1999 mengalami disfungsi saraf paru-paru sehingga tak dapat bernapas. Ia mempunyai dua orang anak laki-laki. Si sulung, 26 tahun, sudah bekerja dan menanggung biaya pengobatan ibunya sebesar 200 juta karena ibunya harus memakai ventilator untuk bernapas, sedangkan adiknya, 19 tahun, baru kuliah di semester 1.
Setelah ibu itu meninggal dunia, dua tahun kemudian si bungsu jatuh sakit dengan kelumpuhan saraf tepi persis seperti ibunya. Ia meminta agar tidak diberi ventilator, dan akhirnya berpulang pada tahun 2002. Ternyata si sulung, yang pada tahun 2006 sudah berkeluarga dan bersama istrinya setiap bulan masih mencicil utang bagi perawatan ibu dan adiknya, suatu hari dibawa ke UGD karena mengalami demam yang serupa dengan ibu dan adiknya itu, dan yang mengakibatkan kelumpuhan saraf paru-parunya. Namun si sulung masih sempat membuat surat pernyataan bahwa ia tidak mau dibawa ke ICU dan menolak semua perawatan.
Ia sadar bahwa penyakitnya fatal, dan ia tidak menginginkan istrinya semakin dalam terbelit utang. Namun si istri tidak tega melihat penderitaan suaminya. Ia menyobek surat pernyataan itu dan meminta kepada dokter agar suaminya dibantu pernapasannya dengan ventilator dan dilubangi kerongkongannya. Ia juga menyewa alat itu untuk merawat sendiri suaminya di rumah, karena ia berpendapat bahwa Tuhan sajalah yang menentukan nasib manusia. Benarkah keputusan si istri itu?
Masalah-masalah moral yang pelik ini menyebabkan rumah sakit di Eropa membentuk panitia etika rumah sakit, di mana perawatan kesehatan dan pelayanan spiritualitas bekerja sama mengupayakan hal terbaik bagi pasien. Kiranya tulisan ini berguna untuk membuka mata kita betapa pentingnya kajian tentang etika kehidupan ini. Kita juga harus terus meminta hikmat Tuhan agar tidak membuat keputusan keliru yang menyangkut kehidupan manusia.
Erna Kusoy
0 komentar:
Posting Komentar