JAS MERAH
Judul di atas adalah salah satu petikan dari ucapan Bung Karno yang terkenal yang berarti, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!” Sejarah merupakan identitas bagi seseorang, sebuah kelompok maupun sebuah bangsa. Jadi bila seseorang melupakan sejarahnya itu berarti dia melupakan identitasnya, asal-muasalnya. Dari sejarah masa lalu orang belajar untuk memperbaiki masa depannya. Maka tepatlah apa yang dikatakan orang bijak, “pengalaman adalah guru yang baik.”
Mazmur 78 ini adalah salah satu di antara empat nyanyian nasional yang agung dalam kitab Mazmur. Tiga lainnya adalah Mazmur 105, 106 dan 136. Tema utamanya adalah pengalaman kelepasan Israel dari Mesir. Tujuan Mazmur ini adalah untuk mengulangi cerita awal bangsa ini, supaya angkatan kemudian dapat diperingatkan untuk tidak melakukan kesalahan yang sama.
Hasrat atau keinginan manusia itu bagaikan lautan luas, yang bila diisi dengan apapun tidak pernah penuh. Selalu merasa kurang, kurang dan kurang. Ada hal positif dan sekaligus negatif disana. Positifnya; jika hasrat itu adalah kerinduan untuk dekat dengan Allah, menyembah-Nya, melayani-Nya. Memang kita tidak boleh berpuas diri dengan penyembahan atau pelayanan yang kita lakukan. Negatifnya; jika keinginan itu adalah untuk memuaskan hawa nafsu yang mendorong perbuatan dosa.
Yang terjadi dalam sejarah bangsa Israel dalam perikop ini adalah hal negatif. Dalam perjalanan mereka di padang gurun, mereka terlalu cerewet. Hari-harinya di isi dengan gerutuan dan keluhan. Mereka mengeluh dan bersungut-sungut karena perjalanan yang menyakitkan serta melelahkan, makanan dan minuman yang terbatas, dsb. Namun keluhan itu dijawab oleh Allah dengan memenuhi keinginan hati mereka. Perjalanan mereka dibuat nyaman dengan adanya awan yang melindungi mereka dari sengatan matahari pada siang hari. Tiang api yang menerangi perjalanan mereka pada malam hari. Manna sebagai pengganti kebutuhan mereka akan gandum (roti). Burung puyuh saat mereka membutuhkan daging. Air dari batu untuk menghilangkan dahaga (ay 19-29).
Meski segala kebutuhan sudah Allah berikan mereka tetap saja belum merasa puas. Mereka tidak percaya kepada Allah, yang akan memenuhi kebutuhan mereka setiap hari sehingga mereka menyimpan makanan itu dengan maksud untuk persediaan, melanggar apa yang Allah perintahkan (band. Kel. 16:19-20).
Dalam perjalanan itu, hari-hari mereka lalui dengan berbuat dosa; mencobai Allah, melawan perintah-Nya, bahkan sampai membuat patung anak lembu dari emas untuk disembah (band. Ul. 9:16). Maka Allah pun murka dan menghukum mereka yang berbuat dosa (kalau hukumam manusia saja sudah menyakitkan, apalagi hukuman dari Allah?). Perjalanan yang seharusnya menyenangkan itu, harus mereka lalui dengan berbagai-bagai kesusahan disebabkan hawa nafsu mereka sendiri.
Saat mereka bergumul dalam kesusahan akibat dosa mereka itu, barulah mereka ‘sadar’ bahwa hanya kepada Allah saja mereka bisa berharap. Lalu mereka bertobat, memohon ampun dan belas kasihan-Nya agar mereka dibiarkan hidup dan mencoba untuk menyembah Allah dalam kebenaran.
Dalam ayat-ayat selanjutnya diceritakan; setelah bertobat, mereka mengulangi lagi dosa dan kesalahan yang pernah mereka lakukan. Meskipun demikian berulang kali juga Allah mau mengampuni dosa mereka.
Orang Bebal, Hidup Dengan Upah Kebebalannya.
Meski pun ada kesalahan yang menghasilkan untung, namun lebih sering kesalahan itu menghasilkan kerugian dan kesulitan. Bila sudah rugi dan hidup dalam kesulitan tentu hidup ini tidak nyaman lagi. Orang bisa putus asa dengan hidup yang demikian. Ada banyak orang yang mencari jalan pintas, dengan mengakhiri hidupnya, misalkan. Tapi orang yang punya pengharapan akan melihat tangan Allah yang terbuka untuk memulihkan hidupnya. Mereka datang kepada Allah mohon ampun dan bertobat serta tidak mau mengulangi dosanya, karena dari pengalaman hidupnya, dia tahu akibat dosa itu hanyalah kesengsaraan. Hanya orang bebal saja yang mau mengulangi kesalahan dan dosa-dosanya, sekali pun sudah diampuni. Keledai saja, tidak mau terjerumus dua kali di lubang yang sama, kok manusia malah senang? Amin.
Pdt. Anthony L Tobing
0 komentar:
Posting Komentar