Prinsip utama dalam kehidupan keluarga yang bahagia sesungguhnya cuma satu, yaitu saling. Keluarga bahagia adalah keluarga saling. Itulah satu-satunya motivasi ketika Allah pertama kali memertemukan laki-laki dan perempuan, yaitu agar yang satu menjadi “penolong yang sepadan” bagi yang lain. Saling menolong.
Kata “saling” mirip benar dengan kata “silang”. Akan tetapi, keduanya mempunyai arti maupun konsekuensi yang sungguh bertolak belakang. Silang bisa berarti seperti peristiwa di sebuah perempatan jalan. Ada dua mobil, yang satu hendak berjalan lurus, sedangkan yang lain mau belok ke kanan. Keduanya sama-sama mau melaju lebih dulu, tak mau menunggu. Akibatnya, mereka saling silang. Bertabrakan dengan hebatnya.
Inilah gambaran keluarga yang tidak bahagia. Penuh tabrakan-tabrakan dahsyat. Sebab yang satu tak pernah mau mengalah terhadap yang lain. Sebab masing-masing berprinsip “aku mesti jalan lebih dulu!”. Silang juga bisa berarti di satu titik. Akan tetapi, cuma sebentar. Setelah itu masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Semakin lama, semakin jauh.
Ini gambaran kehidupan keluarga yang tidak bahagia. Rumah hanya merupakan tempat persinggahan di mana anggota-anggota keluarga bertemu, tetapi tak lama. Sebab setelah itu masing-masing berjalan menuju arah yang bermacam-macam. Rumah hanya tempat untuk bersilang. Lalu, semakin berjauhan.
Amat disayangkan bila kini semakin banyak jumlah keluarga silang. Dan semakin sulit membina keluarga saling. Padahal dalam hal ini, Alkitab memberikan penjelasan yang amat jelas dan gamblang. Yang mesti dibina dan diusahakan adalah saling, bukan silang.
Anda baca saja Efesus 5 atau Kolose 3. Tak sedikit pun ada keragu-raguan di situ. Istri harus menghormati suami. Akan tetapi, toh suami tidak boleh “mentang-mentang”. Ia harus mengasihi istrinya. Saling.
Anak-anak mesti menaati orang tua. Akan tetapi toh orang tua tidak boleh sewenang-wenang. Orang tua tidak boleh menyakiti hati anak-anak mereka. Saling.
Bawahan berkewajiban menghargai atasan. Akan tetapi atasan tidak boleh lalu bersikap “semau gue”. Ia harus berlaku “jujur dan adil” terhadap bawahannya. Saling. Nah, kurang jelas apa lagi?
Dalam renungan ini, saya ingin mengajak Anda untuk merenungkan bagaimana penting “saling” itu mesti kita terapkan di dalam hubungan antara orang tua-anak dan antara anak-orang tua. Alkitab amat jelas, tandas, dan tegas mengatakan bahwa anak-anak harus menghormati dan menaati orang tua mereka. Itu tak perlu kita pertanyakan lagi. Itu juga telah menjadi bagian dari sikap budaya kita.
“Hormatilah ayahmu dan ibumu supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu”
(Keluaran 20:12)
“Hai anak-anak, hormatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian”
(Efesus 6:1)
Anak-anak harus menghormati orang tua mereka, bukan terutama karena dan apabila orang tua itu pantas dihormati, tetapi hanya karena satu alasan saja: sebab mereka adalah orang tua Anda. Titik. Dan karena sampai kapan pun orang tua itu adalah orang tua, maka perintah ini terus berlaku, tidak hanya pada waktu anak-anak membutuhkan orang tua mereka, tetapi juga pada waktu orang tua membutuhkan anak-anak mereka.
Toh yang lebih sering menjadi persoalan adalah, bagaimana orang tua harus menjalin hubungan dengan anak-anak mereka. Bagi orang-orang Yahudi-tetapi saya yakin, juga bagi kebanyakan kita-anak-anak itu dipahami sebagai kelanjutan orang tua. Banyak orang tua yang tersenyum puas menjelang ajal sebab dapat berkata, “Aku puas, sebab walaupun aku mati, anak-anakku akan melanjutkan apa yang belum kuselesaikan.”
Itulah sebabnya, mengapa tidak mempunyai anak menjadi persoalan yang akan serius. Bukan saja karena ada kekosongan yang mendalam tetapi juga karena “tak ada yang melanjutkan”. Bahkan tidak mempunyai anak laki-laki pun dirasakan oleh banyak orang sebagai kekurangan yang luar biasa. Sebab “tidak ada yang melanjutkan keturunan”.
Betapa pun wajar dan normalnya pandangan seperti ini, ia mengandung bahaya. Bahayanya ialah, anak-anak itu sering tidak dilihat sebagai manusia-manusia yang mempunyai kepribadian sendiri, tetapi hanya sebagai kelanjutan orang tua mereka. Yang paling sering adalah kita menggembleng anak-anak begitu rupa dan kalau perlu kita bentuk dan kita paksa, untuk memenuhi cita-cita dan ambisi orang tua yang tidak kesampaian. Mereka seolah-olah tidak berhak untuk mempunyai cita-cita dan ambisi sendiri.
Ayah yang gagal menjadi juara tinju, lalu membentuk anak-anaknya secara keras untuk menjadi juara tinju dunia. Ibu yang menderita karena bersuamikan orang yang tidak mampu memberi kecukupan material, lalu berkeras melarang anak-anak perempuannya menikah dengan orang-orang yang mereka cintai hanya karena mereka tidak cukup kaya.
Tanpa sadar, kita lalu membentuk anak-anak kita seperti tanaman bonsai. Kita tidak memberi kesempatan kepada anak-anak itu untuk bertumbuh dan berkembang secara wajar. Setiap kali daunnya, batangnya, dan akar-akarnya kita pangkas sehingga “bonsai” kita itu terbentuk seperti yang kita kehendaki. Bonsai itu memang indah, tetapi kerdil dan tidak produktif. Hidup sekadarnya. Mati tidak, hidup dalam arti sebenarnya pun tidak. Merana dan menderita.
Banyak orang tua tidak sadar bahwa mereka telah membuat anak-anak mereka merana dan menderita, justru ketika mereka mengatakan, “Tapi Nak, ini demi kebaikanmu sendiri.” Atau, “Ini semua terpaksa aku lakukan demi kasihku kepadamu!” Tentu orang tua harus mengasihi anak-anaknya. Tetapi mengasihi itu tidak berarti memiliki. Tentu orang tua berkewajiban membina dan mengarahkan anak-anaknya. Akan tetapi, itu sama sekali tidak berarti mencetaknya.
Anak-anak bukanlah lembaran kertas fotokopi. Mereka mempunyai kepribadian sendiri. Mereka berhak mengambil keputusan sendiri. Dan kemudian mereka memikul risiko atas keputusan mereka sendiri. Apa yang dituliskan oleh Kahlil Gibran di bawah ini, alangkah tepatnya:
Boleh kauberikan cintamu kepada mereka, tapi jangan pikiranmu,
sebab mereka mempunyai pikiran sendiri.
Boleh kauberikan rumah untuk tubuh mereka, tapi jangan untuk jiwa mereka,
sebab jiwa mereka tinggal di rumah masa depan.
Boleh Anda berusaha menjadi seperti mereka, tapi jangan menjadikan mereka seperti Anda.
Sebab hidup tidak bergerak ke belakang atau mogok di masa silam.
Sumber : dikutip dari “Iklan Bagi Anak Hilang” karya Pdt. Eka Darmaputra, Ph.D, editor Pdt. Ayub Yahya, terbitan Gloria Graffa
0 komentar:
Posting Komentar