“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu" Yohanes 15:16

Senin, 10 Oktober 2011

Snackaholic (Kebiasaan Ngemil Yang Berlebihan)

DOMINASI penyakit orang sekarang lebih lantaran tak tepat memilih gaya hidup. Salah satunya soal pilihan menu. Penyakit degeneratif dan kanker terbukti berkorelasi dengan apa yang kita makan sedari kecil. Itu sebab mengapa kejadian jantung koroner, stroke, bahkan kanker kini menimpa kelompok usia lebih muda.

Boleh jadi sebab lidah orang sekarang sudah terbentuk salah selagi masih kecil. Cita rasa dirusak oleh jajanan dan menu restoran sejak kanak-kanak. Anak sekarang tak bisa menyukai sayur lodeh, tempe, dan pepes jamur di meja makan ibu. Menu gorengan mengalahkan rebusan.

Celaka, melihat jajanan pabrik sudah merambah kampung dan desa. Di mana-mana anak lebih memilih keripik ketimbang kacang rebus. Ketika kini di Jepang dan orang Barat menjauhi menu olahan, dan mencari ubi, labu, bulgur, padi-padian alami, masyarakat kita masih gandrung pada ayam goreng dan kerupuk. Gorengan kita kebanyakan buruk jenis minyaknya, dan kerupuk memakai penyedap dan zat warna yang belum tentu layak dikonsumsi.

Gizi “generasi televisi”
Tepat bila menyebut generasi anak sekarang sebagai “generasi televisi”. Gizi anak dibangun oleh asupan penganan yang ditawarkan iklan televisi. Belum tentu semua menyehatkan alih-alih bergizi. Yang aman dikonsumsi pun masih perlu dikaji kandungan penyedap, pemanis buatannya (sweetener). Karena tidak semua pemanis buatan aman dikonsumsi. Yang tergolong aman buat orang dewasa belum tentu aman untuk anak. Menu serba manis, asin, dan berlemak sumber penyakit hari depan. Sihir iklan televisi merongrong pilihan sehat selera makan anak.

Di Amerika Serikat, zat kimia dalam industri makanan terus bertambah. Namun FDA, badan POM di sana ketat melarang dan mengawasi produk yang membahayakan kesehatan. Di kita begitu menjamur industri makanan rumahan sehingga tak terjangkau oleh kendali Badan POM kita. Belum terhitung industri makanan yang nakal. Ada yang memakai bahan berbahaya plastik bikin garing gorengan, menyampurkan kimiawi berbahaya untuk minuman cincau, odol palsu, bahan perenyah keripik, zat antilengket mie, selain pengawet yang belum tentu aman dikonsumsi.

Minyak trans sudah beberapa negara melarang dikonsumsi. Hampir semua jajanan, biskuit, penganan yang dijual di pasar memakai minyak yang tak menyehatkan. Sama tak menyehatkan minyak goreng bekas restoran yang ditadah oleh penjaja gorengan pinggir jalan. Yang kaya maupun rakyat papa di kita kini sama-sama memikul risiko kanker sebab tak mengisafi bertahun-tahun menelan carcinogen pencetus kanker dalam menu harian.

Saus tomat dan sambal murah industri rumahan di Ibukota negara pun masih banyak beredar. Apalagi di kampung dan desa. Tiap hari menelan zat warna tekstil rhodamine B dalam saus tomat dan sambal murah, atau warna kuning sirop dan limun methylene yellow, berarti bibit kanker tengah ditanamkan. Belum nitrosamine dalam ikan asin, obat nyamuk anti belatung yang disemprot ke ikan asin, luasnya pemakaian pestisida, kimiawi pengawet kulit apel impor, dan banyak lagi yang tertelan dari air minum, serta jajanan, tak semua terbebas dari zat carcinogen.

Ada yang meramalkan, generasi anak sepuluh tahun lalu, sepuluh tahun di depan bakal berbondong-bondong masuk rumah sakit kanker jika konsumsi menu tercemar carcinogen tidak dihentikan. Termasuk generasi orangtua yang menukar menu ikan pindang ke bistik. Kelebihan konsumsi daging juga berkorelasi dengan kejadian kanker.

Dibanding makanan industri rumah, makanan dan penganan pabrik betul lebih aman, namun kelebihan kalori dari minyak, gula, susu, dan mentega (junk food). Sedang yang buatan rumahan selain belum tentu cukup bergizi, tak higienis, mungkin tidak aman dikonsumsi melihat zat additif yang dipilihnya.

Kembali Ke Meja Makan Nenek
Saatnya memberi tahu anak dan masyarakat untuk kembali memilih menu meja makan nenek. Selain lebih murah juga menyehatkan. Menu tradisonal bersifat menu seimbang (slow food). Bahwa yang menyehatkan itu bukan bistik, melainkan pepes ikan. Bukan donat atau ayam goreng melainkan pisang rebus, atau tahu dan tempe bacem. Bukan roti putih, melainkan bekatul dan bulgur. Bukan biskuit melainkan talas rebus. Terigu dan gula pasir tidak lebih menyehatkan daripada gandum dan air tebu.

Menu restoran selain bahannya belum tentu segar, umumnya kelebihan kalori, dan diimbuhi kimiawi yang belum tentu aman dan menyehatkan. Sepiring nasi, sepotong ikan, tahu, tempe, dan semangkuk sayur lodeh itu kiprah menu orang yang sadar hidup sehat sekarang ini.

Ketika ubi, ketela, sayur dan buah organik, biji-bijian, kacang-kacangan, dan umbi-umbian tersedia di supermarket, berarti komoditi itu yang sedang gandrung orang cari sekarang. Ketika aneka lalapan hadir makin beraneka di pasar modern, bukti orang gedongan mulai sadar bahwa pilihan sehat bukanlah menu olahan.

Ketika banyak penyakit sebab tubuh orang sekarang kekurangan enzim, orang mengejar sayuran dan bebuahan segar saja. Orang mulai meninggalkan menu yang bahan bakunya disimpan lama, atau yang diolah secara berlebihan, dan dengan cara serta alat masak yang berbahaya kandungan bahan logam, dan tingkat perapiannya.

Belum terlambat kampanye menu sehat di sekolah, dan mengajak peran media massa, televisi khususnya. Bahwa kesehatan itu ada di dapur, bukan di restoran. Bahwa meja makan ibu yang menentukan hari depan kesehatan keluarga. Jajanan sehat itu yang serba direbus, dikukus, atau disangrai.

Demi tujuan menginvestasi generasi sehat, lidah anak perlu disetel ulang. Jangan sampai lagi membangun “generasi kerupuk” dan kelompok usia produktif sampai mati prematur oleh stroke, jantung koroner, dan kanker hanya karena sejak kecil membiarkan mereka salah memilih menu, dan jajanan.

Dr Handrawan Nadesul

Postingan Terkait



0 komentar: