Gereja yang hidup adalah gereja yang - meminjam istilah Dietrich Bonhoeffer - ”ke dalam bermakna, ke luar relevan”. Dengan kata lain, kehadirannya dirasakan tidak hanya oleh umat, tetapi juga oleh masyarakat di sekitarnya. Gereja yang hidup - pada dirinya sendiri - adalah Injil, kabar baik, bukan hanya bagi para warga jemaat di dalamnya, melainkan juga bagi masyarakat di luar gereja. Ia seperti “oase” di tengah padang gurun dunia.cBerikut ini adalah 7 karakteristik gereja yang hidup.
1. VISI YANG JELAS
Visi seumpama titik terang di ujung lorong yang gelap, kepadanya segala daya dan upaya diarahkan. Visi tidak hanya akan menjawab pertanyaan untuk apa gereja itu ada, tetapi juga ke mana gereja itu akan mengarah. Oleh sebab itu, gereja ada tidak sekedar “menggelinding”. Padat programnya, sibuk aktivitasnya, tetapi tidak jelas maknanya. Gereja mesti tahu ke mana arah tujuan dan apa yang ingin dicapai. Ia tidak berjalan bagai dalam labirin tak berujung.
Dalam Amsal 29:18 versi King James dikatakan, “Where there is no vision,the people perish.”-Tanpa visi, rakyat binasa (LAI menerjemahkan: “Bila tidak ada wahyu, menjadi liarlah rakyat”). Memiliki visi seumpama anak panah yang punya sasaran bidik; titik dimana semua energi, kemampuan, dan perhatian seluruh anggota diarahkan; landasan sekaligus tujuan dari semua kegiatan dan program gereja.
2. STRUKTUR ORGANISASI YANG DINAMIS
Tidak ada yang meragukan peran Roh Kudus dalam gereja. Namun, hal itu bukan berarti gereja tidak perlu ditata. Paulus mengatakan bahwa segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur (1 Kor 14:40). Struktur organisasi yang dinamis memungkinkan “aturan main” yang jelas, tegas, sekaligus terarah, sehingga gereja cepat tanggap, bereaksi secara akurat, dan berinteraksi secara tepat. Ketidakharmonisan bisa diminimalkan, potensi yang ada pun bisa disalurkan lebih efektif dan efisien untuk mencapai visi.
3. IBADAH YANG HANGAT
Guru Sekolah Minggu bertanya kepada seorang anak, “Mengapa tidak boleh berisik di gereja?” Si anak menjawab, “Karena mengganggu orang tidur!” Cerita ini memang hanya joke - lelucon, tetapi joke biasanya berangkat dari sebuah realitas tertentu. Ibadah yang hangat memungkinkan jemaat pulang dari beribadah dengan mendapatkan “sesuatu”; baik dari khotbah yang disampaikan, maupun dari suasana ibadah yang dibangun, sehingga dapat dijadikan “bekal” dalam hidup keseharian mereka.
Akan tetapi, jangan salah, ibadah yang “hidup” tidak sama dengan ibadah yang “hingar binger”, penuh musik, dan sorak sorai. John Stott berpendapat tentang ibadah yang penuh kekhidmatan sekaligus penuh sukacita, yaitu ketika warga jemaat turut terlibat dengan penuh antusias; khotbah disampaikan oleh hamba Tuhan yang secara sungguh-sungguh menyiapkan dan menggumuli firman Tuhan; tim musik dan pemandu pujian yang disiapkan dengan baik.
4. PERSEKUTUAN YANG AKRAB
Relasi akrab antar warga jemaat itu penting. Relasi yang akrab akan mengikat mereka dalam sebuah persekutuan yang harmonis. Seumpama sebuah keluarga, perbedaan bisa tetap ada, bahkan juga konflik. Namun, itu semua tidak akan sampai memisahkan. Sebab ada dasar kokoh yang melandasi, yaitu kasih Kristus.
Paulus sangat menekankan relasi kasih ini (Kolose 3:12-17; Filipi 2:1-11). Tuhan Yesus juga menasihatkan para murid untuk saling mengasihi (Yoh 15:12). Bahkan, relasi kasih ini dikatakan sebagai identitas para murid-Nya (Yoh 15:14-16). Bisa jadi kedengarannya “klise”, tetapi itulah yang harus dibangun. Tanpa dasar kasih Kristus, tidak akan ada keakraban. Ciri-ciri persekutuan yang akrab, yaitu adanya kerinduan untuk bertemu, rasa “nyaman” dan “aman” bila bersama-sama, dan ada keinginan untuk saling berbagi dan melindungi.
5. PEMBINAAN YANG BERKESINAMBUNGAN DAN TERARAH
Pembinaan kelompok-kelompok di dalam jemaat - sekolah minggu, remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa - dilakukan secara berkesinambungan dan terarah; tidak sporadis, tidak berjalan sendiri-sendiri, bukan suka-suka kelompok yang bersangkutan. Begitu juga kelompok-kelompok lain, seperti persekutuan wilayah, kelompok sel, dan pendalaman Alkitab. Pertanyaan kunci guna menunjang pembinaan yang berkesinambungan dan terarah adalah: “apa yang mau dicapai pada masa yang akan datang?”
6. PELAYANAN KE LUAR DAN KE DALAM
Pelayanan yang dimaksud disini adalah “pelayanan sosial”, seperti ketika para rasul menunjuk ketujuh orang diaken dalam Kisah Para Rasul 6:1-7. Jadi, sementara para rasul fokus pada “pelayanan firman”, “pelayanan sosial” tidak terabaikan. Gereja tidak semestinya hanya berkutat dengan “masalah rohani”, tetapi juga perlu “menggarap pelayanan sosial”; kepada jemaat - perkunjungan, diakonia, dan sebagainya - dan kepada masyarakat di sekitar gereja - beasiswa, poliklinik, posyandu, pelatihan keterampilan, dan sebagainya. Untuk itu, gereja memerlukan inovasi-inovasi baru. Intinya adalah bagaimana agar kehadiran gereja betul-betul dapat dirasakan sebagai berkat.
7. MEMBAWA PERUBAHAN HIDUP
Apabila misi ke luar gereja adalah supaya semakin banyak orang merasakan sapaan kasih Allah, mengenal, dan mengakui Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat, misi ke dalam gereja adalah menjadikan warganya memiliki sikap hidup yang “berbeda” dalam keseharian mereka di mana pun dan dalam peran apa pun. Seperti jemaat mula-mula yang tidak hanya bertumbuh di dalam, tetapi juga “bersinar” di luar. Kisah Para Rasul 2:47 menyatakan, “Dan mereka disukai semua orang.”
Setiap orang kristiani memiliki identitas ganda: dipanggil dari dunia dan diutus ke dalam dunia. Artinya, dipanggil untuk menjadi berbeda dari “orang dunia”, tanpa menjadi terpisah dari dunia. Identitas kekristenan semestinya tidak hanya tampak dalam kehidupan kultis (ibadah), tetapi juga nyata dalam kehidupan etis. Menjadi garam dan terang dunia (Matius 5:13-16).
By: Pdt. Ayub Yahya
(sumber: Yayasan Gloria Yogyakarta)
0 komentar:
Posting Komentar