“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu" Yohanes 15:16

Rabu, 19 Oktober 2011

Menjangkau Yang Tidak Terjangkau (To Reach The Unreach)

Refleksi Singkat Untuk Mereposisi Tugas Panggilan Gereja

Tulisan singkat ini hendak menajamkan pergumulan gereja sebagai persekutuan umat Tuhan dalam mewartakan Kabar Baik di tengah-tengah dunia ini. Pewartaaan Kabar Baik di tengah-tengah dunia ini seringkali diaplikasikan secara sempit meskipun sudah dimaknai secara luas oleh gereja. Pemaknaan Kabar Baik secara luas, berarti gereja sudah sampai pada titik pergumulan bahwa pelayanan Kabar Baik tersebut meliputi pelayanan holistik, yakni pelayanan mimbar dan sosial. Namun, disisi lain, gereja sering ‘malu-malu’ atau ‘apatis’ untuk menyentuh pewartaan Kabar Baik dalam konteks sosial.

Sadar atau tidak sadar, pola pelayanan demikian justru menjadi cara yang efektif untuk mencabut gereja dari akarnya, yakni bahwa ia diutus ke tengah-tengah dunia ini untuk hidup di dunia ini. Artinya, Tuhan tidak pernah menghendaki gereja untuk menciptakan ‘dunia baru’, sebuah dunia yang dibatasi oleh tembok atau dinding kokoh gereja, sementara itu realitas sosial di sekitar gereja, tempat ia hidup, seakan-akan menjadi dunia luar yang tidak perlu diurus. Karena itu, tujuan tulisan ini hanya mengingatkan kita semua, bahwa gereja harus menjangkau yang tidak terjangkau selama ini. 

How to live?, demikian pertanyaan Charles Taylor sebagaimana dikutip oleh William Schweiker.1 Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan preambule bagi Charles Taylor untuk menjelaskan nilai-nilai kehidupan yang perlu diterapkan dalam era Posmodern saat ini. Charles Taylor menghantarkan jawaban atas pertanyaan di atas, live must to be valued in human life. Pertanyaan dan jawaban di atas bukan sekedar konseptual, tetapi bagi Charles Taylor, hal itu harus menjadi nilai-nilai moral.

Seharusnya, pertanyaan tersebut perlu dilontarkan kepada gereja pada saat ini,bagaimana gereja harus hidup?  Jawaban Charles Taylor tersebut, juga menjadi jawaban bagi gereja, dimana gereja harus bernilai dalam kehidupan umat manusia. Nilai yang dimaksud disini sesuai dengan pandangan Charles Taylor, This biblical outlook becomes crystallized around the center of faith, the reality of God.2

Nilai yang hendak diwartakan gereja di tengah gereja adalah menempatkan iman sebagai pusat pandangan Alkitab, dan utamanya adalah menyatakan Tuhan di tengah-tengah pergumulan dunia. Bila merujuk pandangan ini pada teks Alkitab, maka akan diperhadapkan dengan pandangan bahwa Tuhan tidak pernah melepaskan diri dari realitas pergumulan umat manusia. Khotbah di Bukit menjadi salah satu contoh, dimana ketika Yesus selesai memberitakan firman, maka Ia juga memberi makan terhadap orang banyak pada saat itu.

Berangkat dari paparan ini, maka yang hendak kita gumuli bukan sekedar konsep atau sistematika teologi, dalam hal kehadiran gereja di tengah-tengah dunia ini. Seharusnya, kita sudah harus berangkat pada tahap yang lebih lanjut, yaitu nilai-nilai yang dianut gereja dalam rangka kehadirannya di tengah-tengah dunia ini. Nilai-nilai tersebut menjadi motor penggerak moral gereja di tengah-tengah arus perubahan pergumulan dunia.

Hans Kung, dalam salah satu bukunya yang sangat fenomenal mengatakan, …the Church must accept in faith the message of the coming reign of God  which has irrupted into the present….3. Peranan yang harus diambil oleh gereja seharusnya tidak bersifat utopia. Artinya, ketika gereja berbicara tentang Kerajaan Allah, yaitu pemulihan manusia baru sebagaimana saat pertama diciptakan di Taman Eden, maka Kerajaan Allah yang dimaksud bukanlah sesuatu yang akan datang, melainkan kerajaan yang sudah datang, dan nyata di tengah-tengah dunia ini.

Dengan demikian, tugas gereja tidak hanya membicarakan tentang Kerajaan Allah, tetapi menjangkau pada aktualisasi Kerajaan Allah sebagai perwujudan imago Dei 4. Bentuk penyataan Tuhan dalam konsep Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia ini adalah menempatkan manusia untuk mendapatkan kemuliaan dan kemenangannya atas segala sesuatu yang telah merusak citra manusia sebagai ciptaan yang serupa dan segambar dengan Tuhan. Pada tahap ini, gereja tentu sudah tiba pada satu paham bahwa firman yang diwartakan adalah firman yang membebaskan.

Pandangan di atas bukan untuk mengagungkan Teologi Pembebasan yang berkembang di Amerika Latin pada periode tahun 1980-1990. Bila kita berkata jujur, maka dapat disepakati bahwa thema sentral yang hendak diberitakan oleh Alkitab adalah pembebasan. Selain pembebasan dari dosa yang membuat manusia menjadi hamba iblis, gereja juga harus berbicara pada pembebasan umat manusia dari semua sistem yang diberlakukan oleh manusia di tengah-tengah dunia ini yang menempatkan sekelompok manusia berada dalam situasi penindasan. Semuanya ini seharusnya menjadi cakupan kerja pelayanan gereja di tengah-tengah dunia ini demi perwujudan tugas gereja yakni penyampaian pesan kedatangan Kerajaan Allah yang sudah berlangsung saat ini.

Perjalanan kehidupan manusia pada saat ini sudah terjebak pada ‘keguncangan solidaritas’, demikian pendapat Jan Patocka, seorang filsuf dari Republik Czech 5. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh situasi dunia pasca pecahnya Uni Sovyet. Sewaktu dunia sedang berada di tengah-tengah perang dingin, yakni antara Blok Barat dan BlokTimur, atau paham Liberalisme dan Sosialisme, dimana kekuatan kapitalisme barat seakan-akan menampakkan wajah yang menakutkan, terlebih ketika dialektika perkembangan ekonomi diserahkan kepada pasar dan pemilik modal. Dengan demikian, jurang pemisah antara yang kaya dan miskin semakin lebar, dan akhirnya melahirkan sebuah sistem penindasan baru, dan di kemudian hari mengikis semangat solidaritas antar umat manusia.

Untuk memperbaiki ‘keguncangan solidaritas’ tersebut, Jan Patocka memberikan konsep, yang mungkin saja dapat dipergunakan semua kelompok civil society, yakni ‘kesadaran sejarah’ (historical consciousness) 6. Sejarah perkembangan peradaban umat manusia berangkat dari keharmonisan, yaitu keharmonisan dengan sesama serta keharmonisan dengan lingkungan. Pemahaman atas keharmonisan yang dimaksud di atas harus diletakkan dalam konteks kesetaraan (equality).

Apabila kita mengarahkan wacana berpikir kita pada sejarah perkembangan peradaban manusia menurut teks Alkitab, maka kita menemukan prinsip keharmonisan yang diletakkan dalam konteks kesetaraan tersebut, terutama dalam kisah Penciptaan, terutama dalam Kejadian 1:27, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia, laki-laki dan perempuan diciptakan mereka”. Teks Alkitab tersebut berbicara tentang kesetaraan, bahwa di hadapan Allah tidak ada perbedaan manusia.

Pandangan Jan Patocka dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi, bahwa kesadaran sejarah sebagai nilai yang patut diperjuangkan gereja adalah ikut serta dalam perwujudan keharmonisan tersebut. Keharmonisan, dalam arti kesetaraan, dapat juga diartikan sebagai kesetaraan dalam mengakses semua potensi-potensi alam semesta, tanpa penciptaan sistem yang menempatkan sekelompok manusia dalam posisi tertindas, sementara yang lain mendapat prioritas.

Sekedar menjadi tambahan. Nihilisme, menurut Jan Patocka, menjadi salah satu ancaman bagi semua kelompok civil society 7, termasuk di dalamnya gereja. Bila gereja tidak memperjuangkan nilai, atau bila gereja tidak menggunakan moral yang menempatkan dirinya dalam perjuangan mewujudkan keharmonisan dalam konteks kesetaraan tersebut, maka suatu saat, umat manusia, khusunya warga gereja akan terjebak pada nihilisme, yakni ketidakpercayaan pada lembaga gereja. Yang paling radikal lagi, nihilisme tersebut dapat juga mengarahkan warga pada ketidakpercayaan pada pesan yang dibawakan oleh gereja, termasuk firman Tuhan.

Saat ini, umat manusia diperhadapkan pada keprihatinan bersama, yaitu lingkungan hidup yang sudah tidak bersahabat, dan sistem sosial kehidupan manusia yang mengancam nilai-nilai solidaritas. Inilah pergumulan dunia dimana gereja hadir di dalamnya. Pada konteks ini, gereja diperhadapkan pada dua pilihan, yakni pertama,memilih untuk ikut dalam wahana pergumulan tersebut atau kedua, memilih untuk diam atau apatis, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Pilihan kedua tersebut memiliki resiko yang sangat besar, yakni munculnya nihilisme di dalam warga gereja sendiri.

Keprihatinan bersama sebagaimana disebutkan di atas adalah bentuk penyangkalan umat manusia terhadap prinsip kesetaraan sebagaimana yang telah dituliskan dalam teks Alkitab. Mari kita lihat situasi yang berkembang saat ini, dimana keseimbangan ekosistem sedang terancam akibat dari perkembangan ekonomi kapitalis yang berorientasi pada penggelembungan keuntungan dalam bentuk kapital atau uang. Pertanyaannya, berapa juta hektar hutan di Indonesia yang secara massiv dijadikan sebagai perkebunan swasta, seperti Kelapa Sawit sementara di sisi lain masyarakat Indonesia sedang mengalami krisis pangan (Maaf, bagi kita yang mengelola perkebunan Kelapa Sawit. Menurut penelitian ahli, tanaman Kelapa Sawit mengeluarkan sejenis gas yang ikut memberikan kontribusi pada pemanasan global yang terjadi akhir-akhir ini).

Disamping memberikan kontribusi dalam mengganggu keseimbangan ekosistem lingkungan hidup, prinsip ekonomi kapitalis ikut juga berkontribusi untuk memberikan ‘keguncangan solidaritas’-nya Jan Patocka. Prinsip ekonomi kapitalis adalah kebebasan bagi para pemegang kapital untuk menentukan arah dan kebijakan ekonomi global. Dengan demikian, bagi rakyat yang tidak memiliki kapital, meskipun ia memiliki alat produksi, belum tentu sanggup menentukan nilai ekonomi dari objek yang ia produksi. Sebut saja semakin merananya kwalitas hidup para petani di pedesaan.

Memang, dalam tataran konsep teologi, kita sudah memiliki kesimpulan yang sama bahwa gereja harus hadir bersama-sama dengan umat manusia untuk mengatasi keprihatinan bersama. Namun, yang menjadi masalah adalah apakah kita sudah menempatkan keprihatinan tersebut sebagai sistem nilai dan moral yang harus diperjuangkan oleh gereja? Ini yang jadi masalah.

Pertumbuhan gereja mestinya harus berani berdialektika dengan sejarah, dan jujur dengan sejarah serta perkembangannya (sebagaimana dipikirkan oleh Jan Patocka). Pertumbuhan gereja juga tidak bisa kita lepaskan dari sejarah dunia tempat kehadiran gereja tersebut. Karena itu, bila kita bergumul tentang pertumbuhan gereja yang mengalami stagnasi bahkan terdegradasi, mungkin saja diakibatkan oleh ketidakjujuran kita pada perkembangan peradaban umat manusia yang harus kita antisipasi bersama-sama.

Perjuangan nilai dan moral tersebut di atas, seharusnya menjadi agenda gereja pada saat ini. Bahwa perjuangan itu berat, benar. Namun, perjuangan yang berat tidak harus menjadikan kita pesimis. Artinya, demi pertumbuhan gereja di tengah-tengah sejarah peradaban manusia yang semakin berkembang, gereja seharusnya membuka diri dalam bentuk program aksi nyata di tengah-tengah dunia yang sedang mengalami ‘kegoncangan solidaritas’. Hal ini tentu sejalan dengan pandangan filsafat Post-Modern saat ini, seperti diutarakan oleh Derrida yang menekankan inter-relational. Artinya, unit-unit civil society, seperti gereja, harus membuka diri, dalam arti program aksi, sesuai dengan perubahan sejarah dimana gereja itu hadir (hal ini juga sejalan dengan pandangan Jan Patocka, ‘Historical Consciousness’, demi perwujudan kesetaraan semua ciptaan, sebagaimana semangat yang terdapat dalam teks Penciptaan).

Secara jujur, saat ini keberadaan gereja diperhadapkan pada tantangan yang sangat luar biasa. James Houston dalam bukunya The Hungry Soul mengatakan bahwa dunia saat ini dipenuhi umat yang haus dan lapar secara rohani. Ada ruang kosong yang tidak bisa diisi oleh materi yang dikumpulkan. Ruang kosong itu hanya bisa diisi oleh hal-hal yang sifatnya rohani (demikian paparan Pdt. Dr. Jaharianson Saragih, Eporus GKPS, pada saat Rapat Pendeta GKPI XXXVII di GKPI Medan Kota, Jl. Sriwijaya pada tanggal 06-10 Juni 2011 yang lalu). Konteks ’ruang kosong’ tersebut menjadi inter-relational yang patut disadari gereja sebagai kontkes kesadaran sejarah yang harus ditempuh. Sejarah peradaban manusia saat ini sedang memasuki saat-saat kekosongan jiwa dimana saat ruang itu tetap dibiarkan kosong, maka masyarakat akan terjerumus pada ancaman nihilisme.

Namun, dalam rangka pemenuhan ruang kosong tersebut, gereja juga perlu memperhatikan hal yang sangat penting, yakni bahawa egosentrisme. Setiap individu dalam rangka pemenuhan ruang kosong tersebut, justru rentan pada jurang pemuasan individu semata sehingga menghasilkan manusia-manusia individualistik. Padahal, disamping spiritualitas yang kosong tersebut, gereja juga berhadapan dengan ‘kegoncangan solidaritas’ umat manusia. Artinya, ketika gereja menjangkau kekosongan spritualitas tersebut, gereja juga perlu menghindar dari pelaku investasi manusia individualistik. Idealnya, saat gereja berusaha memberikan nafkah atas kekosongan spritualitas umat, baiklah itu dilaksanakan dalam rangka penghargaan ciptaan secara holistik, yakni menciptakan individu yang bersolidaritas dengan ciptaan.

Hal ini perlu ditekankan melihat ancaman yang terjadi belakangan ini. Aspek spritualitas hanya pada pemuasan diri semata, sementara kekacauan disekitarnya cenderung diabaikan atau bahkan berpartisipasi menciptakan kekacauan sistem sosial umat manusia. Contoh: saat ini warga di sekitar Humbang Hasundutan (Sumatera Utara) sedang mengalami gagal panen oleh karena kesulitan petani untuk memprediksi alam, yakni musim hujan dan kemarau. Sangat jelas bahwa kegagalan panen tersebut merupakan situasi di luar kemampuan pemecahan masalah dari para petani tersebut. Kegagalan panen masyarakat Humbang Hasundutan merupakan salah satu konteks sejarah kehadiran gereja saat ini yang berindikasi pada relasi/hubungan manusia dengan alam yang sudah kacau balau. Artinya, sadar atau tidak sadar, suka atau tidak suka, gereja diperhadapkan pada situasi kekosongan spritual secara individu, dan kegoncangan solidaritas secara komunal ciptaan. Gereja dipanggil untuk menjangaku itu.

Pdt. Irvan Hutasoit, S.Si
(Pendeta GKPI, saat ini melayani di GKPI Resort Khusus Saroha Dolok Sanggul)

----------------------
1.  Schweiker, William, Power Value and Conviction: Theological Ethics In The Postmodern Age, Ohio: The Pilgrim Press, 1998, Hal. 34
2.  Ibid, Hal., 36
3.  Kung, Hans, The Church (Terj. Die Kirche), New York: Sheed and Ward, 1967, Hal. 97
4.  Kisah Penciptaan dalam kitab Kejadian 1, tentang ‘Segambar dan Serupa’ dengan Tuhan tidak berarti fisik, namun lebih menekankan eksistensi, keberadaan. Artinya, ketika Tuhan menciptakan manusia segambar dan serupa dengan penciptaNya, maka keberadaan manusia di tengah-tengah alam semesta ini mendapat tempat yang mulia, dimana manusia adalah manusia yang merdeka serta berperan untuk mengelola alam ciptaan ini seturut dengan kehendak Tuhan.
5. Shanks, Andrew, Civil Society Civil Religion, Massachusetts: Blackwell Publishers Ltd, 1995, Hal. 115.
6. Ibid., Hal. 119
7. Ibid., Hal. 110

Postingan Terkait



0 komentar: