“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu" Yohanes 15:16

Jumat, 14 Oktober 2011

Hadir Untuk Turut Menderita

Saat menonton salah satu tayangan TV swasta kita “Jika Aku Menjadi”, ada banyak hikmah yang didapat dari sana. Obyek acara itu adalah orang-orang ‘kecil’ yang kehidupan sehari-harinya dipenuhi pergumulan. Subyeknya adalah mereka yang terbiasa hidup dengan fasilitas lengkap. Selalu ada airmata dalam setiap acaranya, airmata dari subyek yang tertumpah setelah sungguh-sungguh merasakan derita si obyek.

Dalam beberapa kali menghadiri suatu peristiwa kemalangan, saya perhatikan orang-orang yang hadir berusaha untuk menghibur, namun yang terjadi justru makin menambah beban orang yang kemalangan itu. Banyaknya ucapan-ucapan belasungkawa dan kata-kata yang dimaksud untuk menghibur, mereka anggap akan cukup menolong. Padahal, tidak satu pun ucapan dan kata-kata itu yang masuk ke hati orang yang kemalangan itu. Bahkan tidak jarang, justru kata-kata itu menyakitkan perasaan mereka yang kemalangan, “Yah… ini adalah pertanda dari Tuhan, supaya kalian rajin ke gereja!”  Saya rasa, orang yang kemalangan akan tersinggung dengan kata-kata itu. Benar bahwa mereka termasuk orang yang jarang ke gereja, namun apakah harus diumumkan di depan umum? Pada saat kemalangan seperti ini?

Tanpa Bicara
11
Ketika ketiga sahabat Ayub mendengar kabar tentang segala malapetaka yang menimpa dia, maka datanglah mereka dari tempatnya masing-masing, yakni: Elifas, orang T'eman, dan Bildad, orang Suah, serta Zofar, orang Naama. Mereka bersepakat untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia.

12
Ketika mereka memandang dari jauh, mereka tidak mengenalnya lagi. Lalu menangislah mereka dengan suara nyaring. Mereka mengoyak jubahnya, dan menaburkan debu di kepala terhadap langit.

13
Lalu mereka duduk bersama-sama dia di tanah selama tujuh hari tujuh malam. Seorang pun tidak mengucapkan sepatah kata kepadanya, karena mereka melihat, bahwa sangat berat penderitaannya.

Tuturan di atas adalah salah satu bagian yang paling mengharukan dalam kitab Ayub (pasal 2:11-13). Sahabat-sahabat Ayub datang dari tempatnya masing-masing dengan ‘bersepakat untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya dan mengibur dia’. Tali persahabatan mengikat mereka dengan Ayub kendati Ayub dalam penderitaan dan malapetaka. Tapi waktu mereka melihatnya, mereka tidak mengenalnya lagi. Sahabat-sahabat Ayub menyatakan dukacita mereka dengan cara yang lazim pada zaman itu; mereka menangis dengan suara nyaring, mengoyak jubah mereka dan menaburkan debu di kepala. Namun yang mengherankan, 7 hari 7 malam mereka duduk di tanah bersama Ayub tanpa mengucapkan sepatah kata pun ‘karena mereka melihat, bahwa sangat berat pendertaannya.’ Di sini mencuat persahabatan sejati. Inilah pelayanan lugu oleh keprihatinan yang mendalam. Stanley Hauerwas menyebutnya ‘hadir untuk turut menderita’, dalam bukunya yang berjudul Suffering Presence, Hauerwas mengutip Ayub 2:11-13 sebagai pengantar salah satu bab dari bukunya itu, yang menceritakan pelayanannya terhadap sahabatnya, Bob, karena ibu sahabatnya itu meninggal bunuh diri:

Setiap saya mengenang pelayanan saya yang singkat terhadap Bob, saya teringat akan ketidakmampuan saya menolong dia. Saya tidak tahu apa yang dapat atau seharusnya saya katakan. Saya tidak tahu bagaimana menolong Bob, menangani apa saja yang harus ditangani pada saat kritis yang begitu ngeri. Satu-satunya yang dapat saya lakukan adalah hadir. Dan akhirnya saya menyadari, bahwa yang benar-benar dia butuhkan adalah justru kehadiran saya. Kendati saya tidak becus, tapi kehadiran saya itu menyatakan kepada Bob, bahwa peristiwa yang sedang dia hadapi tidaklah terlalu mengerikan sehingga memisahkan dia dari saya atau dari sesamanya. Kehidupan masih terus berlanjut….

Saya sekarang berpendapat, pada waktu itu Allah memberi kesempatan istimewa kepada saya untuk hadir, apada saat sesama saya ditimpa penderitaan dan tersiksa, kendati saya belum mengerti betapa pentingnya suatu kehadiran.

Yang mencolok dari perilaku sahabat-sahabat Ayub, ialah keibaan yang penuh keprihatinan yang terwujud dalam kehadiran mereka meski tanpa bicara. Dengan berdiam diri mereka telah menyatakan sesuatu lebih dari apa yang dapat diungkapkan dengan kata-kata, karena tidak ada yang dapat diucapkan.

Tentang kehadiran itu Craig Dykstra berkata lebih gambalang lagi:

Kehadiran adalah pelayanan dengan kesudian membuka diri dan peka terhadap setiap kemungkinan. Hadir untuk bersama-sama orang yang sedang ditimpa penderitaan, berarti menempatkan diri sendiri pada posisi dilanda derita seperti orang yang sedang menderita itu, dan membuka diri juga terserang oleh orang itu. Artinya, rela menanggung derita yang sedang ditanggung oleh orang itu dan bersama-sama dengan dia dalam penderitaannya. Tapi itu sama sekali tidak berarti berusaha menjadi orang yang ditimpa penderitaan itu. Hadir bukanlah berarti mengambil alih kedudukan orang yang ditimpa penderitaan, sebab bila demikian itu berarti merendahkan orang itu, dan seolah-olah kita berkata kepada dia, “Saya ebih mamu daripada Anda memikul penderitaan Anda. Minggirlah. Saya mampu menggantikan Anda.” Halnya tidaklah demikian. Kehadiran adalah membuka diri terhadap penderitaan yang sedang menimpa seseorang, dan menyertainya terhadap serangan. (C. Dykstra, Vision and Character – Paulist Pres, 1981, hlm 102)

Bishop J.V. Taylor menutup bukunya dengan cuplikan berikut:

Rekan sekerja saya bercerita bahwa seorang ibi, asal Karibia, dikabari tentang kematian suaminya dalam kecelakaan lalu lintas. Ibu Karibia itu sangat terkejut. Sangat terpukul. Ia jatuh emas di kursi tamu. Tidak bergerak. Tidak bicara. Matanya melotot terus lurus ke depan.

Keluarganya datang. Sahabat-sahabatnya dan polisi juga datang. Tapi Ibu Karibia itu tetap tegang membisu. Kemudian seorang ibu – guru dari anak-anak Ibu Karibia itu – datang dan mendekati dia. Ibu Guru itu duduk, lalu memeluknya dengan kuat. Memegang tangannya dan mencium pipinya. Ibu Guru merasakan kesedihan Ibu Karibia itu. Air mata ibu Guru itu menetes membasahi tangan mereka berdua.

Tidak lama kemudian Ibu Karibia itu bergerak dan mulai menangis. Lalu ibu Guru itu bangkit, menyerahkan amplop dukanya dan mohon diri.

Demikian itulah pelukan dan ciuman Allah yang berdampak pada kehidupan. Demikian pula pelukan kehadiran-Nya dan pinta doa kita. Dan Roh Kudus memberi kekuatan pada tangan yang memeluk, keringat pada pipi yang mencium, dan deraian air mata membasahi tangan yang saling berpegangan. Roh kudus hadir sedemikian dekat dengan kekuatan yang mustahil dilawan. (J.V. Taylor, The Go Between God – SCM Press, 1972, hlm 243)

Hadir dan turut menderita adalah pelayanan tanpa bicara, dan pelayanan seperti itu punya kuasa.

Pdt. Anthony L Tobing

(Sumber: cuplikan buku David Atkinson, The Message of Job – Inter-Varsity Press, 1991)

Postingan Terkait



0 komentar: