Menjadi Saluran Mujizat Tuhan
Cenderung Mengagungkan Aturan.
Agama Yahudi sangat menekankan kekudusan sehingga mereka menjaga diri agar tetap kudus di hadapan Tuhan. Dan berusaha melakukan segala hukum-hukum-Nya. Bahkan mereka cenderung mengagungkan hukum-hukum itu tanpa syarat.
Oleh karena itu mereka yang ‘kudus’ tidak boleh hidup bersama dengan orang yang ‘tidak kudus’. Siapa saja yang tidak kudus? Mereka yang tidak mau menyembah Allah, mereka yang tidak mengenal Allah (kafir) dan mereka yang terkena hukuman atau kutukan Allah (najis). Dan salah satu yang mereka anggap najis itu adalah orang yang menderita sakit kusta. Penyakit kusta dipahami sebagai suatu hukuman atau kutukan Allah kepada orang-orang yang menentang-Nya.
Menurut ilmu kedokteran, Ada 3 macam penyakit kusta, yang pertama adalah jenis kusta yang disebut nodular atau tubercular. Jenis ini mulai dengan rasa letih sekali dan sakit di tulang-tulang sendi, lalu timbullah bintik-bintik di tulang punggung, dan kemudian muncullah benjolan-benjolan pada bintik-bintik tersebut yang berwarna merah muda, lama kelamaan berubah menjadi coklat. Setelah bejolan-benjolan tersebut menjalar, maka wajah bisa berubah bagaikan wajah singa. Dari benjolan-benjolan tersebut keluar nanah yang berbau busuk. Rata-rata orang yang menderita penyakit ini bertahan selama sembilan tahun lalu meninggal. Penderita menjadi menjijikkan baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Yang kedua adalah jenis kusta anestesis, gejala-gejala awalnya hampir sama dengan jenis yang pertama, namun pada jenis ini saraf juga ikut diserang, dan setiap saraf yang diserang akan mati rasa. Saat penyakit ini berkembang, luka-luka di saraf akan melepuh. Otot-otot melemah, urat-urat mengerut sehingga lengan menjadi seperti cakar dan secara bertahap jari kaki dan tangan menghilang. Ini bisa berlangsung selama 2- hingga 30 tahun, yang mengakibatkan tubuh mati secara bertahap dan mengerikan. Yang ketiga adalah gabungan antara nodular dan anestetis. Ini adalah jenis kusta yang paling umum di Palestina pada waktu itu. Sehingga cepat atau lambat, penderita kusta biasanya akan berakhir pada kematian yang tragis.
Perlakuan orang Yahudi terhadap ketiga jenis orang di atas amat kejam. Mereka mengucilkan orang-orang seperti itu, dengan segala upaya mereka akan menyingkirkan mereka jauh-jauh. Karena mereka takut akan menjadi tidak kudus. Makanya penderita kusta selalu mereka kucilkan tempat tinggalnya jauh dari kota, mereka dilarang masuk ke kota apalagi rumah ibadat. Jika ada orang di sekitar mereka, mereka juga wajib berteriak-teriak “Najis… najis… najis…” Agar orang banyak tidak mendekati mereka. Kepada penderita kusta juga seperti itu, mereka bukan takut ketularan penyakit itu saja, tapi yang paling utama mereka takut menjadi tidak kudus di hadapan Allah.
Ironis sekali, tidakan mereka untuk menjaga kekudusan itu justru menjadikan mereka menjadi tidak manusiawi. Oleh karena itu tindakan Tuhan Yesus pada perikop ini adalah memanusiakan mereka yang tidak dianggap lagi di tengah-tengah pergaulan hidup sehari-hari.
Seseorang yang punya seekor anjing yang cantik dengan bulu yang lebat dan terurai rapih serta tidak bau, dikasih nama ‘Butet’ pula… pasti orang tersebut akan menyayangi anjing itu. Membelainya bahkan mengajaknya tidur bareng. Tapi pada saat anjing itu terserang penyakit; bulunya rontok, kulitnya korengan, baunya juga menusuk hidung… biasanya anjing itu akan dibuang jauh-jauh.
Kalau saudara-saudara kita yang tadinya sehat kita terima dalam kehidupan kita tapi saat dia menderita sakit lalu kita buang dia jauh-jauh… dan kita tidak mau ngajak dia ngomong… Lalu kita larang untuk mendekati kita… Apa bedanya perlakuan kita yang seperti itu terhadap saudara kita manusia dengan seekor anjing? Di situlah letak “ketidakmanusiawiannya” Tidakkah jiwa saudara kita itu akan menderita juga?
Mujizat Kesembuhan.
Tuhan Yesus datang membawa kesembuhan, bukan hanya kesembuhan penyakit tapi juga kesembuhan jiwa! Ini mujizat… Halleluya…….!
Orang yang sedang menderita secara fisik dan jiwa itu nekad datang pada Tuhan Tuhan Yesus. Keberanian penderita kusta itu datang pada Tuhan Yesus tentu saja didorong oleh pengharapan dan pengenalan akan Yesus, ia beriman dan percaya bahwa dalam Yesus ada jawaban. Jelas di sini bahwa dia sudah pernah mendengar apa yang telah Tuhan Yesus pernah lakukan bagi mereka yang memohon pertolongan-Nya.
Para penderita kusta sudah dapat dipastikan akan berakhir pada riwayat yang mengerikan baik jiwa maupun tubuh, dibuang dari masyarakat. Harapan satu-satunya adalah pada orang yang mau menerima kehadiran mereka dan Tuhan Yesus mau menerima orang-orang seperti itu. Dan bukan hanya sekedar menerima saja tapi juga mau menyembuhkannya!
Jika seorang kusta disembuhkan, maka ia sendiri harus menjalani upacara pentahiran yang rumit sebagaimana dijelaskan dalam Imamat 14. Kita dapat membacanya dalam pasal tersebut tentang kerumitan yang dimaksudkan.
Ada satu hal yang menarik dalam perikop ini. Tuhan Yesus sudah memperingatkan dengan keras agar penderita kusta yang telah sembuh itu tidak menceritakan pengalaman kesembuhannya kepada siapa pun, mengapa? Tuhan Yesus tidak ingin orang-orang datang kepadanya hanya karena ‘mujizat’ yang telah dibuatnya dan berharap mujizat juga terjadi dalam hidup mereka. Ia tidak ingin orang-orang datang kepada-Nya hanya didasari oleh kebutuhan sementara. Ia ingin agar kita datang kepada-Nya berdasarkan kebutuhan kekal, yaitu keselamatan kekal.
Namun apa yang terjadi? Bukannya pergi menghadap iman, penderita kusta yang telah sembuh itu justru pergi menceritakan pengalamannya itu kepada orang-orang. Ia tidak mengindahkan peringatan keras Tuhan Yesus kepadanya. Tapi pertanyaannya… bukankah dia bersaksi atas mujizat yang dialaminya? Bukankah Tuhan yesus juga meminta kita agar kita mau bersaksi tentang-Nya? Oleh karena kegembiraan yang belebihan, kadang kita lupa pesan atau peringatan dari Tuhan. Pelajaran bagi kita dari sini adalah: Jika kita bersaksi tentang Injil, janganlah kesaksian itu membuat orang datang pada Tuhan Yesus berdasarkan kebutuhan sementara saja. Hendaknya kesaksian kita mendorong orang-orang datang kepada Tuhan Yesus berdasarkan kebutuhan kekal.
Dalam nats kita ini kita dapat melihat beberapa hal yang amat penting untuk direnungkan dari sikap Yesus. Yang pertama Yesus tidak mengucilkan orang yang sedang menderita mental dan raga sebagaimana yang dialami oleh penderita kusta dalam nats ini, namun Yesus dengan spontan menaruh belaskasihan. Orang kebanyakan (Mayoritas) pada waktu itu memperhadapkan dengan aturan-aturan yang ada, tapi Yesus menghadapkannya dengan belaskasihan. Dalam bahasa Yunani istilah belas kasihan disebut “splaknistei”, yang pada umumnya menunjuk kepada reaksi spontan Yesus yang perlu dijawab kebutuhannya.
Yang kedua, bahwa Yesus tidak memutuskan komunikasi dengan penderita kusta tersebut, tapi merangkulnya dengan mengulurkan tanganNya. Hal itu berarti bahwa Yesus menyambung komunikasi yang telah terputus. Yesus mulai menyembuhkannya dari penyakit kejiwaan karena tidak boleh berkomunikasi dengan orang lain secara wajar. Dengan cara Yesus mengulurkan tangan, maka penyembuhan kejiwaan yang telah rusak mulai dipulihkan. Dan kemudian Yesus menyembuhkan penyakit raganya yaitu kusta tersebut.
Yang ketiga, perbuatan belaskasihan dan kuasa untuk menyembuhkan yang dilakukan Tuhan Yesus dalam nats ini, bukanlah sesuatu pameran kuasa (exhibition power), makanya Dia melarang untuk mempublikasikan kepada orang, tapi justru Dia suruh kepada para imam sebagai bukti bahwa penderita kusta tersebut telah sembuh untuk mendapatkan legalitas. Jelas sekali bahwa Tuhan Yesus menghormati hukum taurat, Dia tidak menentang hukum taurat tapi dia menggenapi dan menyempurnakannya.
Kita Sebagai Saluran Mujizat-Nya.
Mujizat kesembuhan Tuhan Yesus itu masih bisa terjadi zaman ini, bahkan sekarang ini. Kita yang akan melakukannya! Tuhan Yesus memakai kita untuk menjadi saluran mujizat-Nya. Yang perlu kita lakukan adalah meniru apa yang Tuhan Yesus telah lakukan. Mungkin kita tidak punya kuasa untuk menyembuhkan penyakit. Tapi Tuhan Yesus telah memberikan kepada setiap orang percaya Roh Belaskasihan.
Salah satu mujizat yang bisa kita lakukan adalah dengan mengkaji dan menata ulang aturan-aturan dan tradisi-tardisi yang menekan kehidupan orang-orang tertentu dan membuatnya lebih manusiawi. Baik aturan-aturan di dalam gereja, perusahaan, pemerintahan, tradisi-tradisi adat istiadat juga peraturan di dalam rumah-tangga sekalipun. Kita harus memiliki “bela rasa” (a shared compassion) yaitu suatu sikap yang didasari oleh rasa belas-kasihan namun tidak menyingkirkan logika. Dengan sikap “bela rasa” itu memampukan kita membuat dan menyusun suatu aturan atau peraturan yang cenderung menyembuhkan, mendukung, membimbing, membina dan mendamaikan, bukan sebaliknya malah membuang, menyingkirkan dan mamatikan.
Dengan tegaknya aturan atau peraturan yang didasari sikap “bela rasa” maka yakinlah banyak mujizat yang akan terjadi. Banyak jiwa yang disembuhkan, banyak jiwa yang diperdamaikan! Amin.
Pdt. Anthony L Tobing
0 komentar:
Posting Komentar