Orang Kaya Sukar Masuk Kerajaan Allah
Tampaknya ada suatu rahasia di balik orang-orang miskin. Mengapa mereka disebut sebagai orang berbahagia (Matius 5:3, Lukas 6:20)? Mengapa orang kaya tidak mendapat keistimewaan itu? Bahkan seorang kaya yang ingin mengikut Yesus pun diminta-Nya membagikan seluruh kekayaannya kepada orang miskin - yang berarti ia akan tidak berharta lagi, baru boleh menjadi pengikut-Nya - padahal kehidupan rohaninya nyata-nyata lebih bagus daripada kebanyakan kita (Markus 10:17-27)?
Ini tidak bermaksud sinis terhadap kekayaan dan kepada orang kaya. Kitab Amsal mengatakan, “Jauhkanlah dari padaku kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku” (Amsal 30:8). “Sebab si miskin pun ada kemungkinan mencuri dan mencemarkan nama Allah,” tuturnya kemudian.
Keterangan
Orang Yahudi pada zaman Tuhan Yesus menganggap diri mereka layak untuk masuk surga karena:
1. Mereka adalah keturunan Abraham.
2. Mereka menjalankan hukum Taurat.
Seseorang datang kepada Tuhan Yesus untuk mengkonfirmasi akan hal itu. Bahwa ia sudah melakukan perintah-perintah Allah sejak ia menjalani Bar Mitzvah, yaitu saat seorang Yahudi secara resmi 'memikul' Hukum Allah dan menjalankan perintah-perintah-Nya (Kristen; naik sidi). Ia berlari-lari datang kepada Tuhan Yesus dan berkata "Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?" Sebelum menjawab pertanyaannya ini, Tuhan Yesus mempertanyakan gelar 'baik' yang ia gunakan, “Mengapa kau katakan Aku baik? Tak seorang pun yang baik selain dari pada Allah saja.” Apa maksud ucapan Tuhan Yesus itu? Jawabannya: tak seorangpun seratus persen baik seperti Allah, tetapi manusia itu dapat dikatakan ‘baik’ sepanjang mereka memancarkan kebaikan Allah.
Tuhan Yesus menjawab orang muda itu: “Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kau miliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” Kalau kita mendapatkan pertanyaan yang sama dari Tuhan Yesus, bagaimanakah respon kita? Akankah kita menjual seluruh harta kita lalu mengkuti Dia atau pergi dengan sedih seperti orang itu? Melalui perintah di atas Tuhan Yesus hendak menunjukkan siapakah yang menjadi prioritas hidup kita. Apakah kita benar-benar mencari Kerajaan Allah, mencari hidup kekal atau mencari dan mengumpulkan harta dunia.
Mendengar perkataan Tuhan Yesus, orang itu pergi dengan sedih. Pengorbanan ini terlalu besar baginya. Kejadian ini menunjukkan sifat yang radikal dari pola pemuridan Tuhan Yesus dalam memanggil orang. Kemudian Tuhan Yesus menggunakan kata-kata yang mengejutkan, "Alangkah sukarnya masuk ke dalam Kerajaan Allah. Lebih mudah seekor unta melewati lubang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.”
‘lubang jarum’ adalah sebuah pintu kecil di pintu gerbang kota Yerusalem. Pintu gerbang utama kota Yerusalem dibuka dan ditutup pada jam-jam tertentu. Jika seseorang akan memasuki kota Yerusalem pada saat pintu gerbang utama tertutup, maka ia harus melalui pintu kecil yang disebut dengan istilah ‘lubang jarum’. Pedagang-pedangan biasanya mengangkut barang dagangannya dengan unta, ia harus menurunkan dulu semua barang dagangannya dari unta itu, lalu dengan sedikit ‘paksa’ ia menarik unta itu ke dalam. Dengan pernyataan ini Tuhan Yesus mau mengakatan; bahwa untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah, seseorang harus menanggalkan harta miliknya lebih dahulu. Membuang segala pikirannya tentang harta lalu memfokuskan diri untuk memasuki Kerajaan Allah.
Para pendengar gentar, "jadi, siapakah yang dapat diselamatkan?" Tanya mereka (Diselamatkan sinonim dengan masuk ke dalam Kerajaan Allah dan memperoleh kehidupan yang kekal). Orang yang telah melaksanakan perintah Allah saja bisa tidak masuk Kerajaan Allah. 12 murid-murid Tuhan Yesus bukanlah orang-orang kaya. Petrus mewakili yang lain ketika ia berkata "Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau" (Markus 10:28 ). Petrus mau mengatakan, “kami ini miskin, kalau orang kaya yang saleh saja sukar masuk Kerajaan Allah, bagaimana dengan kami yang miskin ini?” Sampai di sini mereka belum menyadari betapa ketatnya syarat-syarat memasuki Kerajaan Allah itu.
Tuhan Yesus menerangkan, “Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah.” Untuk menyelamatkan seorang kaya, maka hati orang kaya itu harus diubah. Cintanya pada kekayaan duniawi harus diganti dengan cinta pada kekayaan sejati yaitu "harta di Surga". Kerajaan Allah, tidak memandang kaya atau miskin tapi memandang ‘hati’ orang-orang yang mencarinya.
Refleksi
Mengapa Tuhan Yesus menganggap kekayaan sebagai penghalang bagi seseorang untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah? Karena kenyataan bahwa orang yang memiliki kekayaan cenderung menggantungkan hidupnya pada kekayaan itu. Seperti petani kaya dalam perumpamaan Tuhan Yesus pada Lukas 12:16-21 yang memacu dirinya sendiri dengan pikiran tentang kekayaan besar yang ia timbun untuk bertahun-tahun lamanya.
Memang harus diakui, ikatan yang paling sulit dilepaskan manusia untuk mengikuti Yesus adalah harta benda. Tentang hal itu Tuhan Yesus pernah berkata, “Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” (Matius 6:21, Lukas 12:34). Semakin banyak harta dan kekayaan seseorang, semakin banyak juga dibutuhkan waktu untuk memikirkan hartanya itu. Sehingga waktu-waktunya kebanyakan disita oleh hartanya sendiri. Kelihatannya memang ia bebas secara finansial, namun pikirannya terpenjara oleh hartanya.
Maka benarlah sabda Yesus “Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah.” Orang yang memiliki sikap lepas bebas adalah orang yang memiliki kebijaksanaan berkata “cukup”. Artinya berani berkata “cukup” atas keperluan tanah milik, barang, uang, dan orang demi mengarahkan hidupnya kepada Kristus. Karena manusia, tidak akan pernah puas akan harta milik.
Monika Hellwig menuliskan keuntungan menjadi orang miskin (“Bukan Yesus yang Saya Kenal” - Philip Yancey):
1. Orang miskin tahu bahwa dirinya sangat membutuhkan penebusan.
2. Orang miskin bukan saja tahu bahwa dirinya tergantung pada Tuhan dan orang yang berkuasa, tetapi mereka saling tergantung satu sama lain.
3. Orang miskin bukan menggantungkan rasa amannya pada harta benda, tetapi pada manusia.
4. Orang miskin tidak merasa dirinya terlalu penting dan tidak mempunyai kebutuhan berlebihan akan prifasi.
5. Orang miskin tidak terlalu mengandalkan persaingan, tetapi mengandalkan kerja sama.
6. Orang miskin bisa membedakan antara kebutuhan dan kemewahan.
7. Orang miskin bisa menunggu, mereka telah memperoleh sejenis kesabaran panjang yang lahir dari kesadaran akan ketergantungan.
8. Ketakutan orang miskin lebih realistis dan tidak begitu dibesar-besarkan karena mereka tahu seseorang bisa bertahan hidup menghadapi penderitaan besar dan kekurangan.
9. Bila orang miskin mendengar Injil, itu kedengaran seperti kabar baik, bukan seperti ancaman atau teguran.
10. Orang miskin bisa menerima panggilan Injil untuk meninggalkan segalanya dengan totalitas penuh karena mereka akan kehilangan sedikit dan siap untuk menerima apa saja.
Kekayaan bisa menjadi tanda berkat dari Tuhan, tetapi juga bisa menjadi penghalang bagi manusia untuk lebih beribadah kepada Tuhan. Orang kaya itu tidak bisa menuruti perintah Tuhan Yesus karena satu hal, yaitu karena hartanya banyak, dalam bahasa aslinya dikatakan karena propertinya banyak, tanahnya banyak. Kisah seperti ini juga terjadi sampai zaman ini.
Kekayaan bisa menjadi berkat ketika kita tidak memandang kekayaan di atas segala-galanya. Menjadi berkat ketika kita mau berbagi dengan orang-orang miskin. Melalui kekayaan, kita bisa menghadirkan Kerajaan Allah ditengah-tengah dunia ini. Orang-orang miskin dapat merasakan kehadiran Kerajaan Allah dalam hidupnya sehari-hari melalui kekayaan kita.
Tetapi kekayaan itu pun bisa menjadi penghalang utama. Cerita tentang manusia yang menjual jiwanya untuk mendapatkan harta terjadi terus sepanjang masa karena manusia merasa bahwa Kerajaan Allah (hidup kekal) itu abstrak, di luar diri manusia. Apalagi zaman modern ini menekankan hal-hal yang konkrit. Bila memerlukan sesuatu harus dengan uang atau kekayaan.
Apakah benar materi dapat memberikan kepada kita kepuasan dan kebahagiaan hidup? Ketika kita mengejar kepuasan di luar Tuhan, itu semua hanyalah fatamorgana - sesuatu yang semu. Dan pada akhirnya, ketika kita harus meninggalkan dunia yang fana ini, harta dan kekayaan itu tidak dapat kita bawa serta (ingat, unta yang masuk lubang jarum).
Prinsip yang indah yang ditawarkan Tuhan Yesus di sini adalah hal yang sejati adalah bukan berupa benda melainkan berupa hidup yang sejati yaitu ‘hidup yang kembali kepada Allah’, hidup yang didefinisikan oleh Sang Pemberi Hidup. Kalau manusia menyimpang dari tujuan semula ketika diciptakan oleh Allah, manusia menjadi rusak sehingga kehilangan maknanya/nilainya, kehilangan arti dan tujuannya. Mari kita kembali kepada tujuan hidup yang Allah tetapkan bagi kita.
Akankah kita seperti orang kaya dalam perikop ini, yang datang dengan sikap yang benar, kepada guru yang benar dengan pertanyaan yang benar, tetapi gagal mengambil keputusan yang benar? Amin.
Pdt. Anthony L Tobing
1 komentar:
Apa yang menjadi analisis dari Markus 10:17- 27 ?
Posting Komentar